Judul Buku : Banana, Beaches, Bases; Making Feminist Sense of International Politics
Pengarang : Cynthia Enloe
Penerbit : University of California Press
Tahun : 1989
Halaman : xiii + 244 halaman
KISAH PISANG DAN PANTAI
Isi dari buku ini diawali dengan penjelasan yang gamblang oleh Cynthia Enloe mengenai posisi wanita dalam politik internasional yakni di urutan terbawah hirarki politik internasional. Posisi wanita dalam politik internasional tidak lebih dari ‘aksesori’ para pria dan forum yang didalamnya terdapat proses penentuan kebijakan. Contoh nyata adalah mengenai posisi Fawn Hall yang merupakan sekretaris dari Letnan Oliver North dalam National Security Department yang turut serta dalam forum negoisasi untuk menentukan kebijakan yang tepat dalam menghadapi Contra Affair/ Iran. Fawn Hall hanyalah ‘aksesori’ di sana, meskipun pada kenyataannya pemikiran-pemikirannya lebih berarti daripada pria-pria yang ada di sana. Jika ada pergerakan wanita dalam politik internasional maka dianggap wanita-wanita tersebut adalah korban dari sistem internasional.
Bab kedua dari buku ini mejelaskan mengenai sexism yang dialami oleh wanita. Dimana wanita-wanita yang kebanyakan berasal dari negara dunia ketiga menjadi obyek sex tourism, pada saat negara mereka menjadikan pariwisata sebagai sumber pendapatan utama negara. Enloe mengatakan bahwa dalam posisi ini wanita diibaratkan sebagai ‘toilet paper’. Sex tourism bukan merupakan hal baru dalam politik internasional, hal tersebut justru menjadi pendorong para politisi untuk melancarkan investasi dari investor-investor negara dunia pertama untuk semakin banyak melakukan investasi di negara dunia ketiga. Dengan adanya hal tersebut maka sex tourism tidak akan pernah mati.
Rasisme wanita dijelaskan pada bab ketiga buku ini. Di sini masih dikatakan bahwa wanita adalah obyek, terutama yang berasal dari negeri-negeri jajahan. Konsep nasionalisme yang dikatikan dengan maskulinitas menurut Enloe mulai merambah ke feminitas, dimana banyak gerakan nasionalisme yang dicetuskan oleh beberapa wanita dari negara colonial di negara-negara jajahan. Namun pada prakteknya feminist nationalist mengalami beberapa hambatan terutama yang menyangkut tentang aturan-aturan yang sifatnya patriarki di beberapa negara, seperti yang dialami oleh wanita-wanita di negara Islam dan wanita-wanita yang melakukan pergerakan terutama dalam hal politik di negara-negara berkembang seperti Sri Lanka, Vietnam, dan Filipina. Wanita-wanita muslim tersebut mengalami dilema yang dapat dikatakan dengan veil dilemma, yakni haruskah mereka tetap menggunakan kerudung dalam melakukan nasionalisme atau melepasnya atas nama nasionalisme dan westernisasi. Sementara wanita-wanita yang berada di negara-negara berkembang dapat melakukan pergerakan di dalam politik dikarenakan adanya opresi terhadap wanita-wanita tersebut, namun hasilnya tidak beda jauh dengan yang dilakukan pria. Perkembangan dunia pendidikan dan ekonomi melaju seperti yang diharapkan setiap negara pada umumnya. Namun mereka dihambat dengan adanya patriarki yang tetap mengharuskan wanita berada dalam rumah, mengurus rumah tangga, kebutuhan suami, dan lain-lain.
Bab ketiga menjelaskan mengenai hubungan wanita dengan kamp miliet, yang isunya adalah wanita tetap menjadi obyek seks dari para pria di kamp militer tersebut. Contoh nyata ketika Amerika mengirimkan tentara kulit hitamnya ke Inggris hingga mereka menjalin hubungan dengan wanita kulit putih Inggris. Masalah ini menjadi perdebatan Inggris dan Amerika karena Inggris menganggap peristiwa ini mengancam kelangsungan generasi kulit putih Inggris. Enloe pun menjelaskan bahwa wanita-wanita yang tinggal di kamp militer sebagai istri tentara memerlukan keadaan yang aman bagi mereka, namun disini Enloe menjelaskan bahwa hubungan antara pria dan wanita di kamp militer mulai berubah. Wanita-wanita tidak lagi menjadi obyek seks tetapi lebih diperlukan dalam hal lobbying yang mendukung karir suami mereka. Penderitaan wanita di kamp militer yang digambarkan Enloe adalah tentang perceraian yang terjadi saat tentara yang menjadi suami mereka mulai terlibat affair dengan wanita-wanita yang bekerja dalam prostitusi. Selain itu Enloe juga menggambarkan mengenai AIDS yang menyerang para wanita yang bekerja sebagai wanita prostitusi di kamp militer, contohnya adalah yang terjadi di Filipina. Karena adanya hal tersebut, maka mulai digencarkan gerakan anti prostitusi oleh militer untuk mengubah keadaan wanita-wanita yang menjadi korban dari kamp militer.
Pada bab lima buku ini menggambarkan mengenai pernikahan-pernikahan yang dialami wanita, terutama bagi mereka yang menikahi diplomat ataupun orang-orang militer. Dalam hal ini wanita juga berperan dalam proses penetuan kebijakan (pekerjaan suami mereka), meskipun prioritasnya adalah sebagai penawaran masyarakat terhadap jasa, pekerjaan, dan tunjangan cerai. Bagi pemerintah, diplomat, dan anggota militer, pernikahan merupakan salah satu alat untuk mencapai suatu hubungan internasional dengan cara yang lebih lembut, atau menyenangkan dalam sebuah negosiasi.
Pembahasan mengenai pisang dan wanita dituangkan dalam bab enam buku ini. Diawali dengan suksesnya Carmen Miranda, aktris asal Brasil, di Hollywood yang akhirnya dimanfaatkan oleh pemerintah Amerika Serikat untuk melakukan pendekatan dengan negara-negara di Amerika Latin tanpa menggunakan cara militer. Carmen Miranda dijadikan ikon dari Chiquita Banana, perusahaan buah Amerika, dengan memakai kostum setengah pisang. Pada saat itu pisang merupakan satu-satunya komoditas internasional yang mampu menembus pasar hingga kalangan bawah. Para perempuan yang umumnya menjadi ibu rumah tangga memilih pisang sebagai makanan penuh nutrisi yang murah untuk keluarganya, sehingga mereka inilah yang menjadi pasar terbesar dari komoditas pisang. Sedangkan Carmen Miranda yang menjadi ikon Chiquita Banana dapat dikatakan sebagai inspirator dari wanita-wanita tersebut tentang kesuksesannya. Pemerintah Amerika menyebut negara-negara penghasil pisang ataupun negara-negara perkebunan lainnya dengan sebutan Banana Republic. Sebelumnya maskulinitas perkebuan menjadi hal yang dominan, namun pada kenyataannya banyak wanita yang dipekerjakan dalam perkebunan tersebut seperti pada perkebunan kopi dan teh sebagai pemetik hasil perkebunan.
Penjelasan mengenai pop-culture dan wanita dituangkan dalam bab ketujuh. Pada bab ini penjelasan mengenai permulaan pop-culture adalah dimulai saat polyster diubah menjadi blue jeans oleh perusahaan Benneton yang kemudian menjadi popular dikalangan masyarakat barat. Dan tentu saja yang menjadi model dari blue jeans adalah wanita-wanita cantik berkulit putih dan cantik. Kemudian penjelasan mengenai kebutuhan buruh murah yang di dapat dari wanita-wanita terutama di negara dunia ketiga untuk memperkuat perusahan-perusahaan semacam Benneton, karena menjahit dianggap sebagai keahlian alami dan tradisional sebagai wanita, dianggap menjahit bukan pekerjaan yang memerlukan keterampilan (keterampilan hanya milik pria), kemudian dianggap bahwa wanita adalah pekerja kedua setelah pria yang kebanyakan tidak menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Marginalitas kepada perempuan juga terjadi ketika negara-negara maju mengubah industri ringan seperti garmen ke industri berat seperti besi dan baja, di mana pekerja wanita ditempatkan pada industri ringan tersebut. Kemudian diceritakan mengenai bagaimana pekerja-pekerja wanita pada industri garmen di seluruh dunia bersatu ketika terjadi peristiwa gempa bumi di Meksiko yang menghancurkan industri garmen, yang pemimpin perusahaannya lebih memilih menyelamatkan mesin-mesin jahit dan tidak membayar upah daripada menyelamatkan nyawa pekerja wanita yang tertimbung reruntuhan pabrik.
Bab kedelapan memaparkan mengenai dilemma wanita yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya yang tidak mampu dicukupi oleh suami, khususnya mereka yang berada di kalangan bawah. Wanita-wanita tersebut memilih memafaatkan keahlian mereka dalam pekerjaan rumah tangga dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau pengasuh bagi keluarga-keluarga kalangan menengah ke atas. Bahkan banyak diantara mereka pada akhirnya memilih bekerja di luar negeri dengan alasan di negara asal tidak dapat diharapkan lagi. Akibatnya para wanita ini kebanyakan menjadi korban atas tindak kejahatan seperti perdagangan manusia dan tindak kekerasan oleh majikan atau investor perusahan tempat dia bekerja. Sebagai solusi atas masalah ini dilakukan IMF dengan cara memberikan bantuan bagi negara-negara miskin untuk mengembangkan negara mereka secara optimal sehingga tidak ada lagi wanita-wanita yang pergi ke luar negeri untuk bekerja, namun kebijakan IMF ini berdampak pada pengurangan support tenaga kerja murah bagi negara-negara maju. Dengan adanya hal ini berarti wanita juga turut serta dalam politik internasional secara langsung baik merupakan subyek maupun obyek.
Dalam buku yang ditulis oleh Cynthia Enloe ini banyak terdapat kelebihan maupun kekurangan. Dalam beberapa hal buku ini termasuk buku yang nyaris sempurna untuk kajian gender. Pemilihan kata-kata yang sederhana, jelas, dan lugas mempermudah pembaca untuk mengikuti alur pikiran Enloe, bahkan bisa membenarkan setiap kata-kata Enloe jika tidak dicermati. Buku ini juga memberikan penjelasan yang mendetail mengenai permasalahan-permasalahan wanita sejak zaman kolonial hingga pada masa sekarang. Enloe yang merupakan tokoh feminist radikal menggunakan kata-kata yang gamblang dan lugas dalam menyampaikan pemikiran dan pemaparannya hingga terkesan terlalu menghakimi, namun hal tersebut tidak dapat disalahkan karena memang hal itu merupakan karakter dari tokoh feminis radikal yang tujuannya memang ingin wanita benar-benar sejajar dengan pria dan tidak lagi menjadi subyek opresi oleh sistem ataupun pria.
Kekurangan dari buku ini adalah analisis Enloe yang terlalu subyektif dan obyeknya merupakan mayoritas. Penulis mengatakan teralu subyektif karena dapat dilihat dari pemilihan kata-kata yang digunakan Enloe dalam bukunya ini, meskipun tidak banyak menggunakan kata ‘saya’. Kemudian pemilihan obyek kajian yang terlalu meluas dan merupakan kondisi dari wanita secara mayoritas. Seperti dalam pembahasan diplomatic wives, Enloe mengesankan bahwa wanita-wanita yang menikah dengan diplomat, anggota militer, dan pemerintah adalah wanita – wanita yang menderita karena dimanfaatkan, namun pada kenyataannya tidak semua wanita merasakan hal tersebut. Ada lagi ketika membahas mengenai wanita yang dijadikan obyek seks pada sex tourism, mereka belum tentu merasa tertekan dengan pekerjaan itu dan bahkan banyak dari mereka merasa diuntungkan dengan pekerjaan seperti itu.
Kekurangan lain dari buku ini adalah tidak diberikannya solusi secara jelas oleh Enloe mengenai permasalah-permasalahan yang dibahasnya dalam buku ini. Menurut penulis, Enloe sibuk dengan pemaparannya mengenai posisi wanita dalam sistem internasional dan penderitaannya tanpa mengungkapkan solusi yang dapat dijadikan pertimbangan.