Keluarga terdiri dari rasa percaya. Percaya bahwa bisa berjalan bersama. Percaya bahwa bisa melewati semua tantangan.
Ketika ayah memutuskan menikah lagi setelah ibu tiada, saya memang mengiyakan dan merestui. Tetapi ada ragu yang masih terselip ditengah doa yang sedang saya rapal. Ada pertanyaan-pertanyaan penuh kekhawatiran. Apakah si calon istri adalah orang baik? Apakah sanggup menjadi sosok ibu? Apakah bisa mendampingi adik saya untuk tumbuh? Dan banyak pertanyaan lainnya.
Let's see, itulah kalimat yang saya ucapkan untuk diri sendiri supaya pertanyaan-pertanyaan itu teredam. Ya, saya hanya perlu melihat bagaimana peran itu dijalankan. Satu hal yang saya pegang, saya percaya pada ayah. Sudah itu saja.
Empat tahun pernikahan mereka, tentu saja ada masalah yang menghadang. Saya tak ambil pusing, karena keluarga kami demokratis. Masalah yang ada bisa terselesaikan. Adik saya yang beranjak dewasa pun lebih banyak tak ambil pusing juga, dia masih bergantung pada kakak perempuannya dan ayahnya. Saya tahu adik saya belum sepenuhnya percaya pada sosok baru dalam keluarga kami.
Menurut saya, beliau perempuan yang sangat baik, kuat, dan cantik. Baik karena mampu menerima kami sebagai anaknya juga (dia memiliki tiga anak lelaki dari pernikahan sebelumnya). Kuat karena dia pernah mengalami kehilangan yang hebat sehingga belajar berdamai dengan kehilangan itu. Cantik, setiap perempuan cantik dengan caranya sendiri, begitu pula perempuan yang kini saya panggil Mama itu.
Kami masih dalam proses membina saling percaya, dalam arti kami mencoba untuk percaya bahwa tidak akan menyakiti satu sama lain. Proses itu panjang, seumur hidup. Tapi saya tahu kami sudah dalam tahap untuk percaya.
Terima kasih, Mama. Sudah bersedia mendampingi ayah, karena itu yang paling penting bagi kami saat ini.