Tuhan menciptakan manusia bukan karena kita layak menjadi manusia. Tuhan hanya menguji, apakah kita benar-benar layak menjadi manusia
Kalau memang rindu, katakan saja rindu. Tak usah kau bikin drama karena kesal pada gengsimu sendiri.
Baru saja saya membaca kembali halaman blog seorang kawan baik yang kini berada ratusan kilometer dari Semarang. Halaman blog yang menyadarkan saya betapa saya sangat merindukan kawan saya ini. Seorang yang seperti keluarga, yang orang tuanya sudah seperti orang tua sendiri. Seorang yang rumahnya sudah menjadi tempat 'pulang' bagi kami, teman-temannya. Seorang yang punya mimpi, yang membuat orang seperti saya bahkan tertular semangatnya untuk mewujudkan mimpi. Ah, saya rindu berbincang dengannya.
Mungkin saya terlalu sering mengajukan alasan untuk tidak mengunjunginya setahun belakangan ini. Entah karena saya sok sibuk, atau saya hanya malu menemuinya. Karena saya merasa jauh tertinggal dari dirinya. Ini absurd. Sangat absurd. Karena saya tahu, dia akan selalu membuka tangannya untuk saya kapan pun saya datang. Dia akan selalu membuka pintu rumah dan mengucapkan selamat datang. Saya juga tahu dia akan dengan tenang mendengarkan segalanya, karena dia baik. terlampau baik.
Atau saya hanya ingin melupakan? Melupakan sebuah kota yang menjadi saksi saya tumbuh. Ada begitu rasa bahagia di sana, juga rasa sakit. Rasa sakit yang membuat saya bisa melupakan rasa bahagia. Lagi-lagi ini tak masuk akal. Mengapa orang bisa lebih merasakan sakit daripada merasa bahagia? Mengapa orang bisa lebih mudah melupakan bahagia? Mungkinkah manusia sangat se-delusional itu?
Tapi, kawan saya ini menjadi salah satu pemicu saya untuk kembali ke kota ini. Mematahkan seluruh visi delusi yang saya bangun selama beberapa tahun terakhir. Sekaligus untuk membuktikan bahwa mimpi memang harus wujudkan. Begitu bukan?
Dear, kota yang selalu dingin padaku. Cukuplah aku merindumu sekarang.
October 18, 2016
No comments
I want to wander, not to feel the joy or the pain. But to understanding.
Pagi ini saya dikejutkan oleh notifikasi email dari seorang teman baik. Subyek emailnya membuat saya penasaran, tentang sebuah dunia yang dekat namun begitu jauh. Tentang ide yang hidu didalamnya, yang membuatnya seakan tak bisa terjangkau. Sebuah vlog dari seorang pelaku perjalanan yang membuat saya tertegun sekaligus iri. Saya tertegun dengan keberaniannya, tentu saja tentang mengambil resiko serta penghakimannya yang 'polos' namun membuat hampir siapa pun menyetujuinya. Kemudian saya juga iri, karena dia bisa menjajak dunia itu lalu bercerita kepada dunia tentang semua yang dialaminya di dunia itu.
Bagi saya, Korea Utara sudah berada di satu tempat istimewa di hati saya. Bagaimana tidak menjadi istimewa, kalau negara ini telah mengantarkan saya menuju jenjang lebih jauh dalam hidup saya? Korea Utara menjadi salah satu 'pintu' yang membawa saya kepada pilihan-pilihan hidup berikutnya, yang membuat saya sampai pada titik saat ini. Korea Utara juga meluruhkan segala penghakiman saya terhadap segala hal yang dianggap berbeda, membuat saya lebih bisa memahami daripada menghakimi secara tidak adil.
Video blog berdurasi sekitar empat belas menit tersebut dibuat oleh Jacob Laukaitis (kalian bisa mencarinya di laman youtube untuk mengikuti cerita perjalanannya), saat berkunjung ke Korea Utara. Tidak mudah mengunjungi negara yang cenderung menutup diri dari dunia, diperlukan izin yang cukup sulit prosesnya untuk mendapatkannya, diperlukan himbauan yang harus berkali-kali diulang agar tidak melakukan kesalahan, dan menekan segala bentuk rasa penasaran berlebihan yang bisa membuat diri celaka. Jacon Laukaitis berhasil memenuhi aturan-aturan itu sehingga saya bisa menikmati ceritanya.
Saya rasa ketika orang bilang 'waktu terasa berhenti' di Korea Utara, rasanya saya tidak melihat itu di video blog ini. Semua orang bergerak maju di negara ini, hanya saja cara mereka bergerak maju tidak sama dengan cara kita atau cara masyarakat lain di belahan dunia lainnya di bumi. Mereka telah mengizinkan turis berambut pirang dan bermata biru untuk berkunjung ke negara mereka, tentu saja dengan aturan-aturan yang mengikat. Saya rasa aturan itu pun dibuat bukan untuk membatasi diri terhadap dunia luar, tetapi untuk menunjukkan identitas mereka kepada dunia. Bahwa mereka punya nilai-nilai yang diyakini, dan cara hidup yang cocok dengan identitas mereka. Sama seperti kita yang memiliki prinsip atau aturan-aturan yang kita buat sendiri untuk menunjukkan identitas kita pada orang-orang di sekitar kita.
Korea Utara mengalami banyak hal untuk bisa sampai pada kehidupaan saat ini, tentu saja dengan cara mereka. Jika beberapa negara lain memilih untuk berjalan di ide yang sama, Korea Utara memilih untuk tetap mengikuti ide yang dipilih dan disusunnya sendiri. Jika ada beberapa yang menganggap apa yang terjadi di Korea Utara adalah karena ambisi pemimpinnya, sebaiknya saya mulai membuka lagi catatan lama lalu menganalisanya lagi. Jika sebagian besar menganggap hal itu melanggar Hak Asasi Manusia, tampaknya perlu dibuka lagi tentang asal definisi hak asasi manusia. Karena saya meyakini definisi itu bisa berbeda tergantung pada latar belakang tempat, kondisi, dan budaya. Saya tidak ingin memberikan penghakiman apa pun pada apa yang terjadi, bukan berarti saya tidak punya empati. Saya hanya ingin memahami untuk apa yang mereka pilih, dan saya rasa hal itu akan memunculkan pesonanya sendiri.
October 10, 2016
No comments
Pengalaman menonton yang paling berkesan adalah ketika keluar dari zona nyamanmu untuk masuk ke zona nyaman orang lain - Sevy Kusdianita
Penghujung tahun 2014, lebih tepatnya bulan November tahun 2014, waktu itu Christoper Nolan (sutradara Dark Knight Series, yang menjadi film superhero favorit saya sepanjang hidup) melakukan meluncurkan hasil kerja terbarunya, Interstellar. Tentu saja saya yang pada waktu itu sedang berada di belahan dunia lain tak ingin ketinggalan menonton. Saya membujuk beberapa teman yang tidak hobi nonton untuk menemani hasrat saya itu. Alhasil, mereka pun bersedia ikut menonton bersama saya.
Sebenarnya saya tidak ingat tanggal berapa dan jam berapa kami menonton Interstellar. Saya hanya ingat di mana kami menonton pada saat itu. Cinema Stars yang berada di pusat perbelanjaan bernama City Stars di salah satu distrik di Kairo bernama Nasr City, adalah tempat saya dan kelima teman saya menonton Interstellar. Beruntunglah saya masih menyimpan foto tiket bioskop yang sudah lusuh yang menunjukkan studio, tanggal, waktu, dan nomor kursi. Saya pun masih menyimpan tiket itu di buku kenangan saya.
Bagian depan tiket Cinema Strars, entahlah itu tulisan Arab artinya apa |
kalau ini bagian belakang yang memberitahukan tanggal,waktu, studio, dan nomor kursi |
Karena masih berselang seminggu dari tanggal rilis Interstellar di Amerika Serikat, maka pengunjung yang menonton film ini cukup banyak. Saya melihat hampir seluruh kursi di Studio 1 Cinema Stars ada pemiliknya pada waktu itu. Ketika film dimulai, maka petualangan saya di studio 1 itu pun juga dimulai.
Saya tidak akan menceritakan tentang alur cerita Interstellar atau mengomentari hasil kerja Christoper Nolan. Tidak, saya masih belum punya kapasitas untuk itu, saya hanya penikmat film yang menilai berdasarkan preferensi saya saja. Kali ini saya akan bercerita tentang apa yang saya alami ketika menonton film di belahan dunia lain.
Ada subtitle berbahasa Perancis dan Arab ketika layar menayangkan adegan pertama, dan masih ada riuh rendah orang mengobrol bahkan ketika lampu dimatikan supaya gambar di layar lebih fokus. Duh, mati! saya langsung mengumpat dalam hati. Arda, teman sekelas saya yang berasal dari Semarang pun langsung bertanya pada saya, "Mbak, sampeyan ngerti?" Dia merujuk pada teks Bahasa Arab dan Perancis yang muncul.
"Aku ora paham subtitle-nya," jawabku. "Moga-moga aja paham filmnya." Ya, semoga saya paham alur film yang menjadikan ilmu fisika sebagai bagian besar dalam alur ceritanya.
Selang beberapa saat sejak film di mulai, saya masih saja mendengar ada beberapa orang yang berbicara. Perlu diketahui, bagi beberapa orang, nonton di bioskop adalah sebuah ritual suci. Mereka sangat mengagungkan sebuah ruang bioskop yang bebas dari suara obrolan orang, pantulan cahaya LCD smartphone, dan kursi yang tenang tanpa adanya dorongan-dorongan kaki dari penonton dibelakang. Di tempat ini, jangan harap bisa menemui para pengikut ritual suci tersebut. Alih - alih menonton dengan tenang, suara orang bercakap-cakap sampai suara orang membuka bungkus plastik makanan ringan bisa didengarkan bersamaan dengan suara yang muncul dari film. It was annoyed me for a while, but then I was fascinated.
Ya, awalnya menjengkelkan nonton bersama orang-orang berisik. Tidak bisa konsentrasi, dan kesulitan memahami tiap adegan karena keterbatasan pengetahuan dan bahasa yang saya punya. Tetapi secara bersamaan ada hal lain yang membuat saya terkejut kemudian tersenyum. Ketika alur film mencapai bagian tengah, tiba-tiba saja layarnya berhenti kemudian lampu bioskop menyala. Awalnya saya mengira ada kerusakan, saya melihat orang-orang di sekitar saya sebagian beranjak dari tempat duduknya sebagian lagi keluar ruangan. Saya dan teman-teman kebingungan dengan situasi ini. Tetapi kemudian saya teringat suatu fakta yang mirip dengan keadaan ini. Ketika bioskop di Indonesia belum memasuki era modern, film yang diputar akan dihentikan ditengah alur cerita untuk 'istirahat'. Penonton diperbolehkan keluar ruangan untuk ke toilet atau membeli makanan. Akhirnya saya tertawa, sampai teman-teman saya kebingungan. Saya pun menjelaskan kepada mereka tentang ingatan saya itu dan menghubungkannya dengan situasi yang kami alami. Mereka ikut tertawa bersama saya.
Sekitar lima menit kemudian, lampu bioskop dimatikan kembali. Film di layar kembali di putar. Saya pun menikmati sisa film dengan baik, masih bersama suara percakapan orang-orang di sekitar saya.
October 07, 2016
No comments
Klik, adalah yang pertama kali saya dengar di kepala saya ketika salah seorang teman mengirimkan foto sepatu lari yang dikenakannya dengan latar belakang rintik hujan. Habis lari, katanya ketika saya menanyakan sedang apa kepadanya. Melihat rintik hujan dan sepatu lari warna hitam dengan kombinasi warna hijau neon itu membuat saya ingin menceritakan sesuatu.
Saya seseorang yang tidak menyukai hujan, tetapi saya selalu merindukan hujan. Katakanlah saya terjebak love-hate relationship bersama hujan. It' was tiring, very tiring. Karena saya memakai perbandingan itu untuk menggambarkan love-hate relationship sepihak yang saya rasakan terhadap suatu hal dan juga seseorang.
It was tiring. Yes, it was. Ketika saya tidak tahu caranya menari bersama hujan, dan tidak tahu caranya menikmati gejolak perasaan yang naik, turun, serta memutar seperti roller coaster. It was tiring, ketika saya belum bisa bernegosiasi dengan perasaan saya dan penghakiman-penghakiman yang ditujukan kepada saya kala itu.
Melihat sepatu lari yang ia kenakan dengan latar belakang rintik hujan, membuat saya merindukannya sekaligus membuat saya mengingat bagaimana saya bisa berdamai dengan semua hal yang melelahkan itu. Time will heal everything, and it's work for me. Love-hate relationship yang saya alami sudah menghilang. Namun ada yang tersisa dari itu, yakni cherish. Ya, I cherish the rain, I cherish him, and I cherish my self.
Saya menikmati rintik hujan yang jatuh ke dahi saya saat menengadahkan kepala, ketika saya sudah belajar bahwa hujan menghapus panas dan debu seharian. Seperti hujan yang meluruhkan lelah dan jengah yang saya alami seharian. Saya menikmati setiap percakapan jarak dekat maupun jarak jauh tanpa berharap apa pun kecuali pertemuan kembali untuk menceritakan kembali tentang apa pun yang kami lewatkan secara terpisah. Saya menghargai setiap hadirnya, dan setiap usahanya untuk mempertahankan ikatan yang terbentuk antara saya dengan dirinya. Karena saya tahu, akan sangat bodoh sekali apabila apa yang kami bangun selama ini hancur karena keegoisan salah satu diantara kami.
Saya sudah memutuskan untuk tidak lagi berpura-pura bahwa saya memiliki perasaan untuk dirinya, keputusan itu sudah lama dibuat dan saya menemukan diri saya membaik ketika mengakui hal itu. Ketika dia membaca tulisan ini nanti, saya berharap dia tidak lari. Saya harap dia akan memuji saya karena keberanian saya, dan belajar untuk melewati ini dengan baik tanpa merusak apa pun. Karena saya yakin, dia mampu mengataasi hal ini dengan baik seperti saya. Karena saya pun yakin, dia bisa menari bersama hujan seperti yang selalu saya lihat dari dirinya selama ini. Karena menikmati hujan akan selalu lebih baik daripada harus menggertutu. Karena penerimaan akan suatu keadaan akan selalu lebih baik daripada melakukan penolakan yang sia-sia bukan?
Saya menikmati rintik hujan yang jatuh ke dahi saya saat menengadahkan kepala, ketika saya sudah belajar bahwa hujan menghapus panas dan debu seharian. Seperti hujan yang meluruhkan lelah dan jengah yang saya alami seharian. Saya menikmati setiap percakapan jarak dekat maupun jarak jauh tanpa berharap apa pun kecuali pertemuan kembali untuk menceritakan kembali tentang apa pun yang kami lewatkan secara terpisah. Saya menghargai setiap hadirnya, dan setiap usahanya untuk mempertahankan ikatan yang terbentuk antara saya dengan dirinya. Karena saya tahu, akan sangat bodoh sekali apabila apa yang kami bangun selama ini hancur karena keegoisan salah satu diantara kami.
Saya sudah memutuskan untuk tidak lagi berpura-pura bahwa saya memiliki perasaan untuk dirinya, keputusan itu sudah lama dibuat dan saya menemukan diri saya membaik ketika mengakui hal itu. Ketika dia membaca tulisan ini nanti, saya berharap dia tidak lari. Saya harap dia akan memuji saya karena keberanian saya, dan belajar untuk melewati ini dengan baik tanpa merusak apa pun. Karena saya yakin, dia mampu mengataasi hal ini dengan baik seperti saya. Karena saya pun yakin, dia bisa menari bersama hujan seperti yang selalu saya lihat dari dirinya selama ini. Karena menikmati hujan akan selalu lebih baik daripada harus menggertutu. Karena penerimaan akan suatu keadaan akan selalu lebih baik daripada melakukan penolakan yang sia-sia bukan?
Thanks for the picture, memories, and lesson |
September 15, 2016
No comments
July 23, 2016
No comments
Kau pernah memberiku edelweis, pada suatu hari saat hujan turun. Saat aku kesal padamu, entah karena apa.
Kau pernah memberiku edelweis, pada suatu hari saat hujan turun. Kau bilang 'Aku tidak memetiknya, aku membelinya dari seorang penjual di kaki gunung kemarin,' aku hanya tersenyum mendengarnya. Kesalku padamu hilang seketika.
Kau pernah memberiku edelweis, pada suatu hari saat hujan turun. Aku mengira kau dan aku akan bersama. Ternyata mimpi kita berbeda, kau dengan jalanmu dan aku dengan jalanku.
Edelweis itu masih di sana, di rumah masa kecilku di lemari pajangan ruang tamu. Aku selalu mengingatmu.
Edelweis itu masih di sana, di rumah masa kecilku di lemari pajangan ruang tamu. Kamu selalu mengingatku.
Edelweis itu masih di sana, di rumah masa kecilku di lemari pajangan ruang tamu. Aku tak pernah mengunjunginya lagi.
Edelweis itu masih di sana, di rumah masa kecilku di lemari pajangan ruang tamu. Kau lupa pernah memberiku edelweis, sama seperti kau lupa memenuhi janjimu mengajakku menonton film terbaru di bioskop.
Ku kira edelweis tak akan pernah layu, bunga abadi katamu. Namun kelopaknya mulai rontok dan batangnya mulai berlubang, kata bibi penjaga rumah masa kecilku.
Kau salah, edelweis tidak abadi. Dia pun layu.
Kau dan aku tidak abadi, kau benar dalam hal ini. Kau dan aku akan selalu memilih jalan berbeda. Seperti edelweis yang memilih layu daripada harus menunggu pemiliknya kembali.
Edelweis pun layu, kau tak mengingatnya dan aku tak pernah kembali.
July 16, 2016
No comments
Sebuah alasan tetaplah menjadi alasan, kecuali kau mampu menegosiasikannya
Aku baru menyadari kalau daya produksiku menurun drastis tahun kemarin. Bahkan aku belum menulis sama sekali tahun ini. Kecuali jika kali ini dihitung sebuah tulisan, maka inilah tulisan pertamaku tahun ini.
Jika ditanya mengapa produktivitasku turun, maka jawabanku adalah aku tidak sedang jatuh cinta (I can see that you're rolled your eyes to me!).
Aku tahu itu absurd dan tidak masuk akal. Tapi kali ini aku akan bernegosiasi denganmu.
Kalau kau bilang alasanku absurd dan tidak bisa kau terima, aku mengerti. Karena memang menulis butuh konsistensi, alasan yang ku berikan kepadamu hanya alasan saja. Kau menganggapku malas. Aku mengerti, aku paham semua itu.
Tapi kalau boleh aku menambahkan, aku belajar melawan mood. Tidak sedang jatuh cinta kemudian tidak menulis adalah keadaan paling buruk yang ku alami, mood paling buruk yang ku alami dan cukup menjadikanku tidak produktif.
Ketika aku sedang jatuh cinta, aku mendapatkan banyak inspirasi. Rasa deg-degan ketika aku melihatnya, saat pipiku memerah karena bersamanya, saat cemburu ketika dia tidak memperhatikanku, bahkan saat patah hati ketika tahu bahwa hanya aku yang menyukainya tetapi dia tidak menyukaiku. Semua itu membuatku menulis. Aku menulis supaya dunia tahu aku sedang jatuh cinta pada pria terbaik di mataku saat itu. Aku menulis supaya aku baik-baik saja saat aku patah hati.
Ironi sekali bukan? :)
Aku memang bukan penulis yang kau harapkan. Tulisanku acak-acakan dan semaunya. Tapi mengetahuimu menggemari tulisanku dan menungguku untuk menghasilkan bacaan baru bagimu, aku bahagia. Aku tahu itu caramu mencintaiku. Maka, bisakah kau membuatku jatuh cinta kepadamu lagi? Supaya aku bisa menulis tentangmu, bahkan saat kau mematahkan hatiku. Jika kau membuatku patah hati sekali lagi, aku harap kau bisa membuatku jatuh cinta lagi. Bisakah kau melakukannya terus. Maka aku akan menulis terus, lagi, dan selamanya.
March 04, 2016
No comments