"Suatu hari kita akan bertemu lagi, menertawakan kebodohan masing-masing lagi. Sambil minum kopi tentunya. Lalu ditegukan terakhir kita akan saling mengucap selamat tinggal, lagi. Hanya persimpangan, itulah kita."
Saya baru saja menyelesaikan novel ini. Baru kemarin. Saya menyukainya sekaligus sedih. Tulisan yang benar-benar hebat, berputar-putar tapi lalu kembali lagi ke Dex dan Em.
Ya, Dex dan Em. Em dan Dex. Dua manusia. Dua puluh tahun. Satu rasa, berbeda dunia, bahkan hingga akhir cerita. Cerita cinta biasa, antar sahabat baik dengan idealisme tinggi dan kenaifan yang juga tak kalah tingginya. Saling meraih mimpi masing-masing, berjalan di jalan masing-masing. Tapi tak pernah bisa melepaskan diri dari diri masing-masing. Tak bisa saling menyingkirkan, bagaimanapun usaha mereka. Hingga akhirnya justru Tuhan yang membuat dunia mereka benar-benar berbeda. Tokoh utama wanitanya, Em, harus mati ketika mereka baru saja memutuskan untuk tidak saling menyingkirkan. Dex pun benar-benar harus mengalami hidup tanpa Em, yang tak sekalipun pernah dia menyangka akan mengalaminya.
Membaca novel ini seperti naik roller coaster. Kita disuguhkan pemandangan yang indah ketika kereta naik, tapi pemandangan itu hilang seketiuka saat keretanya turun dan meluncur dengan kecepatan tinggi, menakutkan dan membuat kita mual. Itulah saat Em berkata, "Aku mencintaimu Dex, amat sangat mencintaimu, dan sepertinya akan terus mencintaimu. Aku hanya tidak menyukaimu lagi." Saya begitu mual saat mencapai bagian ini. Kemudian Em meninggalkan Dex, benar-benar meninggalkannya untuk menjalani hidupnya sendiri.
Menyebalkan memang, ketika suatu kisah yang seharusnya bahagia malah berakhir tragis. Tapi bukan disini intinya. Saling menemukan, itulah intinya. Seperti ketika kita harus memutar untuk menemukan apa yang sebenarnya kita cari dan kita butuhkan, tapi ternyata hal itu sangat dekat dengan kita, hingga tidak kita sadari. Jungkir balik hidup Em ketika tak ada Dex, dan jungkir balik Dex ketika tak ada Em, adalah cara mereka untuk mengambil jalan memutar hingga akhirnya menemukan apa yang mereka cari dalam diri masing-masing. Jalan memutar. Ya, kita perlu jalan memutar untuk tumbuh, untuk membuat kesalahan., dan untuk menemukan.