Hari sudah gelap ketika, Alia sampai di rumah. Ia merogoh tasnya untuk mencari kunci dengan terburu-buru, bibirnya gemetar menahan dingin air hujan yang membasahi tubuhnya dalam perjalanan ke rumah. Tidak hanya itu, matanya juga bengkak dengan air mata yang tak surut sejak keluar dari kantor kekasihnya sore tadi. Kunci sialan itu tidak kunjung ditemukannya sampai Alia menumpahkan seluruh isi tasnya dan melihat kunci itu jatuh bersamaan dengan seluruh isi tasnya; handphone, dompet, sisir, notes, dan pulpen. Dengan cepat Alia memasukkan kunci ke lubangnya, lalu memutarnya, dalam waktu singkat pintu rumah terbuka lebar. Tanpa mengembalikan barang-barang ke tasnya, Alia hanya meraup semua barang itu ke pelukannya lalu masuk ke rumah. Dibantingnya pintu rumah, lalu ia duduk di sofa ruang tamu dan menangis keras-keras.
Alia masih tidak percaya, Rio, sahabatnya mengkhianatinya. Ia menemukan Rio dan Gilang, kekasihnya, bertukar ciuman penuh gairah di depan matanya saat ia memasuki kantor kekasihnya (sekarang jadi mantan kekasih). Hatinya terluka, sangat terluka. Alia tidak menyangka sahabatnya menyukai sesama jenis, Rio menyukai Gilang yang sangat dicintai Alia setengah mati. Hatinya lebih terluka, mengetahui Gilang juga sama seperti Rio. Ia dibohongi selama ini, dan Alia merasa sangat bodoh setelah mengetahuinya. Ia juga merasa kotor, mengingat setiap ciuman yang dibaginya bersama Gilang dulu. Apa yang harus ku lakukan, Tuhan? teriak Alia dalam hati. Tuhan maha Pengampun, itu jelas bagi Alia. Apakah ia juga harus memaafkan seperti Tuhan memaafkan manusianya? Tetapi rasanya Alia tidak sanggup melakukan hal itu, ia bukan Tuhan. Apa yang bisa kau lakukan Alia? suara hatinya bertanya. Alia tak tahu jawabannya. Tidak, ia tak sanggup menjawabnya.