Ketika ada yang mengatakan bahwa cinta itu tentang memberi, maka bolehkah saya menambahkan bahwa cinta juga tentang tanpa syarat?
Pagi ini saya melakukan perjalanan singkat dari Malang ke Kediri dengan kereta lokal Penataran Dhoho. Tiket kereta ini hanya 5500 rupiah, dan harus dipesan sekitar H-7 jika tidak ingin kehabisan tiket dengan tempat duduk. Saya datang satu jam sebelum keberangkatan kereta, dan menemukan Stasiun Malang tidak terlalu ramai seperti saat akhir pekan.
Sembari menunggu di peron stasiun, saya mengamati sekitar sambil sesekali memainkan ponsel saya. Antrian loket kereta ke Surabaya dan Banyuwangi tampak memanjang hingga pintu stasiun. Pedagang kue basah menjajakan dagangannya dengan semangat, saya bisa mencium aroma lumpia, risoles, dan weci (ote-ote) dari kejauhan. Kemudian ada pula yang tampak buncah ketika terdengar pengumuman kedatangan kereta Gajayana dari Jakarta di Stasiun Malang.
Peron selalu menarik mata dan pehatian saya. Peron selalu memiliki banyak cerita yang bisa diceritakan kembali. Ada begitu banyak bentuk rasa, melepaskan, menunggu, dan buncah semua tumpah ruah dalam satu ruang.
Pukul 10.40, kereta yang akan membawa saya ke Kediri datang. Saya segera naik ke gerbong yang sesuai dengan yang tertulis di tiket, dan mencari tempat duduk yang juga sesuai dengan yang tertulis di tiket. Saya pun membaur dengan suasana gerbong kereta ekonomi yang sesak, panas, dan bau hingga saya tercekat dengan kedatangan ibu dan anak yang duduk di tempat duduk yang ada di depan saya.
Si Anak laki-laki tampak kesulitan dengan mata kiri yang diperban, selang yang dipasang di mulutnya, dan sebuah alat yang dipasang dilehernya yang berfungsi sebagai alat pernapasan. Si Ibu memakai pakaian sederhana dengan sebuah tas lusuh yang digantungkannya pada leher.
"Habis operasi katarak, Bu?" tanya wanita yang duduk di samping saya kepada si Ibu.
"Operasi tumor, Bu," jawab si Ibu. "Ini tadi dari Saiful Anwar (rumah sakit umum daerah di Malang),"
"Tumor mata?"
"Tumor mulut," jawab si Anak dengan suara lirih, "Sudah merampat ke mata,"
Wanita di samping saya mengangguk-angguk, sementara saya hanya diam dan mengamati. Di sinilah saya melihatnya, bentuk cinta tanpa syarat yang selalu dikatakan orang.
Ibu dan anak itu tidak banyak bercakap, hanya gestur tubuh mereka yang mengatakan segalanya, bahwa mereka begitu saling mencintai. Si Ibu menyediakan bahunya untuk anaknya, ketika si Anak merasa lelah dan ingin tidur, si Ibu juga meletakkan tangannya di atas kedua tangan anaknya yang tertelangkup. Tak lama kemudian, si Ibu menggeser posisinya supaya si Anak bisa tidur di pangkuannya dengan mudah dan nyaman.
Saya hanya terdiam melihatnya.
Bentuk cinta ini sebenarnya sudah sering saya temui di perjalanan yang pernah saya lakukan. Ketika melakukan perjalanan singkat Surabaya-Malang, saya pernah melihat seorang anak perempuan yang tangannya menggapai-gapai bangku yang berhadap-hadapan untuk mencari tangan ibunya hanya untuk digenggam. Seorang teman juga pernah menceritakan sepasang suami-istri pedagang kacang rebus keliling yang menua bersama dan selalu lewat di depan tempat kosnya tanpa pernah berjalan meninggalkan pasangannya.
Selalu ada cinta yang bisa dilihat dan dirasakan dalam setiap perjalanan. Saya selalu meyakini, ketika manusia sedang menggunakan rasa cintanya untuk manusia lain maka akan ada kemampuan untuk memberi dan itu selalu tanpa syarat.
Di kereta yang saya tumpangi pagi ini saya melihat si Ibu memberikan seluruh waktu dan hidupnya untuk membuat si Anak lebih kuat menghadapi segala hal yang datang kepadanya. Sepasang suami-istri penjual kacang rebus keliling itu pun telah mengalami memberi tanpa syarat dalam hidupnya.
Jika melihat seperti itu, bolehkah kalau saya iri?
Saya tahu, mencintai itu adalah perjalanan panjang yang penuh pertaruhan. Kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi kepada kita atau orang yang kita cintai. Akan ada hal yang akan memunculkan pertanyaan 'seberapa kuat kamu mencintai' ketika sudah dihadapkan pada ujian. Tanpa syarat adalah satu-satunya syarat untuk menjadikan setiap bentuk cinta menjadi lebih kuat. Proses menjadikannya kuat itulah saat hati kita semakin tumbuh dan bisa menerima dan memberi lebih banyak.
Ya, ketika memberi tanpa syarat itulah maka cinta itu dekat dan ada.