Lagi-lagi saya menemukan diri saya menulis ketika sedang hancur. Ketika luka lama yang saya kubur rapat-rapat menganga seenaknya. Menganggu konsentrasi saya, membuat saya selalu ingin bersandar pada seseorang. Tentu saja saya mengutuk diri saya sendiri ketika merasa selemah ini.
Saya kembali menyalahkan hujan karena hal ini.
Saya benci hujan. Saya membencinya bukan tanpa alasan. Meskipun saya menyugesti diri saya untuk berkata bahwa hujan itu rahmat, tetapi tetap saja saya terluka ketika hujan dan saya menemukan diri saya menyalahkan rahmat Tuhan itu. Sungguh hina.
Pertama, saya mendapatkan berita buruk tentang kanker ketika langit Surabaya sedang mendung delapan tahun yang lalu. Ibu saya divonis bahwa hidupnya tidak lama lagi, bahwa kanker akan merenggut satu-satunya manusia yang menjadi sandaran hidup saya. Meskipun saya memasang wajah tegar dan datar dihadapan orang tua saya waktu itu, di dalam mobil travel menuju Malang saya menangis. Di luar hujan turun sangat deras, meredam suara isakan saya.
Kedua, didalam mobil ambulans yang menggaungkan sirine saya mendampingi jenazah ibu saya. Di luar mobil hujan deras mengetuk-ngetuk. Saya tidak bisa menangis, tidak satu tetes pun.
Mobil ambulans dan hujan sukses membuat saya sesak napas sampai sekarang.
Jadi, kamu masih bilang saya drama karena hujan? IYA! Saya mendrama, melodrama.