Linikala terus berjalan, saat aku menunggu matahari senja masa itu. Secangkir kopi hitam pekat dan asam turut menunggu. Lagi-lagi titik-titik perak jatuh dari langit, membuat jendela mengembun, menghalangi pandangan, lalu membuat khawatir. Matahari senja enggan muncul.
Aku bernapas satu-satu dan perlahan, diselingi helaan panjang yang berat. Dadaku sesak seperti ditendang, tak mampu membuat ruang. Kaca berembun menghalangi pandangan. Kopi pun menjadi dingin. Dan kau belum muncul. Ah, sebenarnya apa atau siapa yang ku tunggu? Titik-titik hujan mengaburkan segalanya.
Aku mulai bertanya pada cangkir kopiku, sedang apa kau sekarang? Masihkah berkutat dengan dirimu sendiri? Masihkah mencari jati diri?
Aku pun mulai bertanya pada embun jendela, apakah kau pernah memikirkan aku? Apakah kau pernah memiliki keinginan untuk mengabulkan setiap waktu yang kuhabiskan untuk menunggumu? Apakah kau pernah mencoba melihat ke kaca jendela yang aku pandangi sekarang, melihat ke dalam, ke arahku?
Titik-titik bening pun mulai menyingkir, mengizikan matahari senja menghampiriku. Namun secangkir kopi dihadapanku mulai dingin, asamnya membunuh lambung.
Lalu kutemukan diriku masih bertahan menatap kaca, mencari sosokmu yang menatap kaca yang sama, lalu melihat ke dalam, ke arahku.
Kau tahu kemana harus menjemputku, bukan?