Kalau memang rindu, katakan saja rindu. Tak usah kau bikin drama karena kesal pada gengsimu sendiri.
Baru saja saya membaca kembali halaman blog seorang kawan baik yang kini berada ratusan kilometer dari Semarang. Halaman blog yang menyadarkan saya betapa saya sangat merindukan kawan saya ini. Seorang yang seperti keluarga, yang orang tuanya sudah seperti orang tua sendiri. Seorang yang rumahnya sudah menjadi tempat 'pulang' bagi kami, teman-temannya. Seorang yang punya mimpi, yang membuat orang seperti saya bahkan tertular semangatnya untuk mewujudkan mimpi. Ah, saya rindu berbincang dengannya.
Mungkin saya terlalu sering mengajukan alasan untuk tidak mengunjunginya setahun belakangan ini. Entah karena saya sok sibuk, atau saya hanya malu menemuinya. Karena saya merasa jauh tertinggal dari dirinya. Ini absurd. Sangat absurd. Karena saya tahu, dia akan selalu membuka tangannya untuk saya kapan pun saya datang. Dia akan selalu membuka pintu rumah dan mengucapkan selamat datang. Saya juga tahu dia akan dengan tenang mendengarkan segalanya, karena dia baik. terlampau baik.
Atau saya hanya ingin melupakan? Melupakan sebuah kota yang menjadi saksi saya tumbuh. Ada begitu rasa bahagia di sana, juga rasa sakit. Rasa sakit yang membuat saya bisa melupakan rasa bahagia. Lagi-lagi ini tak masuk akal. Mengapa orang bisa lebih merasakan sakit daripada merasa bahagia? Mengapa orang bisa lebih mudah melupakan bahagia? Mungkinkah manusia sangat se-delusional itu?
Tapi, kawan saya ini menjadi salah satu pemicu saya untuk kembali ke kota ini. Mematahkan seluruh visi delusi yang saya bangun selama beberapa tahun terakhir. Sekaligus untuk membuktikan bahwa mimpi memang harus wujudkan. Begitu bukan?
Dear, kota yang selalu dingin padaku. Cukuplah aku merindumu sekarang.