Ketika bicara tentang cinta, tolong jangan sebut dirimu atau diriku saja. Tolong sebutkan 'kita'. Aku tak mampu mencintai jika hanya seorang diri.
Saat itu malam semakin larut di Ismailia, derajat suhu semakin menurun, maklum saja Mesir memasuki musim dingin setiap akhir tahun. Tapi malam itu, saya dan teman sekamar belum bisa memejamkan mata, padahal esok pagi kami harus pergi ke kantor imigrasi Ismailia untuk mengurus perpanjangan visa. Tak ada suara obrolan sama sekali, mesikpun kami berada dalam satu kamar. Saya berkali-kali memandangi ponsel sambil sesekali scrolling sana-sini, salah satu teman saya (Diah, namanya) sedang membaca al-Quran dengan suara lirih, lalu Nisa sedang sibuk dengan laptopnya.
"Kalian butuh cinta ngga sih untuk menikah?" tiba-tiba saja saya menyeletuk saat jemari saya berhenti pada sebuah nama di jendela chat Whatsapp. Kedua teman saya langsung fokus kepada saya. Diah sampai menghentikan bacaannya lalu melepas mukenanya. Nisa bertanya mengapa tiba-tiba saya menanyakan hal itu. Saya hanya mengangkat bahu lalu tertawa.
"Ngapain tiba-tiba ketawa?" Diah pun tiba-tiba ikut tertawa besama saya. Mungkin geli melihat kelakuan saya yang tiba-tiba saja sangat serius lalu tiba-tiba tertawa begitu saja sedetik kemudian. "Seriously, I just want to know. Do you need love to get married?"
"I do," Nisa menjawab dengan mantap. "Alasannya?"
"Sebagai jaminan aku akan diperlakukan dengan baik dan diperjuangkan."
Nisa mengembalikan pertanyaan kepada saya, yang saya jawab dengan mantap bahwa saya tidak butuh cinta untuk memulai sebuah pernikahan, cukup dengan visi yang sama dan perjanjian 'tak tertulis' selain akad nikah untuk memasuki kehidupan yang baru itu. Kedua teman saya memandang saya dengan tatapan bertanya, 'apa kau yakin?'. Jika mereka mengajukan pertanyaan itu dengan lantang, saya sendiri tidak tahu apakah saya mampu menjawabnya atau tidak.
"Kamu tidak percaya cinta?" Diah mengajukan pertanyaan. "Bukankah saat ini kamu sedang menjalin hubungan dengan seseorang. Seseorang yang sering berbicara denganmu lewat LINE selama di sini, yang bukan orang tuamu?"
Saya menggeleng lalu menjawab bahwa saya tidak menjalin hubungan dengan siapa pun, lelaki itu hanya teman baik. "Tetapi lelaki itu membantu saya mengingat bagaimana jatuh cinta, patah hati, lalu kembali bangkit." jawab saya sambil tersenyum, memandangi sekali lagi nama yang muncul pada jendela Whatsapp.
Ismailia sangat dingin saat itu, seperti itulah saya mengingat lelaki itu. Lelaki yang jauhnya ribuan kilometer, yang suaranya masih selalu terdengar dekat di telinga saya.
Ismailia sangat dingin saat itu, seperti itulah saya mengingat lelaki itu. Lelaki yang jauhnya ribuan kilometer, yang suaranya masih selalu terdengar dekat di telinga saya.