Ada masa ketika kita mengagumi musim panas bersama. Kita duduk di bawah pohon, beralaskan selimut kotak-kotak berwarna merah jambu, dan kotak makan siang yang setengah terbuka di dekat kita. Kau hampir menghabiskan bola nasi tuna buatanku. Saat itu angin berhembus perlahan, menyapu wajah seakan membawa kehangatan dari jauh yang kita tidak pernah tahu asalnya.
Ada masa ketika kita mengagumi musim panas bersama. Kau membawaku ke sungai sedangkal mata kaki yang airnya sebening permata. Melepaskan sepatuku, lalu membuatku merasakan kasarnya bebatuan sungai. Kau bilang padaku kalau bebatuan itu bisa membuat halus kakiku. Aku percaya.
Ada masa ketika kita mengagumi musim penghujan. Kita duduk di toko kue favoritku yang menjual tiramisu kesukaanku. Hujan turun deras sekali di luar sana. Kita bisa melihatnya dari jendela toko yang lebar. Kau bilang, kau suka hujan. Kau suka bau hujan yang bercampur debu.
Ada masa ketika kita mengagumi musim penghujan. Kita berteduh di teras toko yang sudah tutup, menunggu hujan reda. Kau mengaitkan kelingkingmu ke kelingkingku erat, lalu kau bilang kau suka hujan. Mengapa? Karena kau, jawabmu. Lalu kau menciumku.
Ada masa aku menikmati musim panas sendiri, di bilik kamarku. Jendela ku buka lebar-lebar, membawa sinar matahari masuk ke kamar. Angin meniup gorden putih berbunga yang dipasang ibuku. Aku membaca suratmu yang kesekian kalinya.
Ada masa ketika aku menikmati musim panas sendiri, di toko es serut favoritmu di pasar lama. Aku berbincang dengan pemiliknya yang renta namun masih bersinar. Berbicara tentang udara yang panas, masa mudanya yang berharga, lalu berbincang tentang dirimu. Kami tertawa bersama, seperti ketika kau mengajakku ke sini pertama kali lalu mengobrol dengannya.
Ada masa ketika aku menikmati musim penghujan sendiri, di kedai kopi favoritku yang menjual wafel kesukaanku. Asap panas mengepul dari segelas americano yang ku pesan. Aku sedang menulis berlembar-lembar surat untukmu.
Ada masa ketika aku menikmati musim penghujan sendiri, di ruang tunggu bandara. Berkali-kali melihat papan jadwal kedatangan pesawat, menunggu dengan cemas. Jantungku berdebar ketika pesawat yang ku tunggu sudah mendarat. Tak henti-hentinya aku memandangi pintu keluar, satu per satu wajah lelah muncul. Lalu aku melihat wajah yang selalu ingin ku lihat. Kau menghampiriku, lalu menciumku.