Yogyakarta: First Solo Trip
Jika tidak menemukan keberanian, maka aku tidak pernah melihat dunia
Saya baru saja membaca artikel yang menarik dari worldofwonderlust.com
tentang solo trip. Kemudian saya membuka kotak memori melalui ‘buku kenangan’
yang berisi segala macam bukti kesenangan (termasuk tiket kereta, tiket masuk
tempat wisata, hingga tiket bioskop), mengingat apakah saya pernah melakukan
solo trip atau belum. Thanks God! Saya pernah melakukan solo trip. Bukan ke
luar negeri atau luar pulau seperti traveler sejati lainnya. Saya ‘hanya’
mengunjungi Yogyakarta, sebuah kota istimewa sesuai namanya.
Solo trip pertama saya terjadi pada bulan April 2012 selama 4 hari. Mungkin
akan memalukan jika saya katakan alasan pertama saya melakukannya di sini,
tetapi saya putuskan untuk mengatakannya demi diri saya sendiri dan orang lain
yang berniat menggunakan alasan yang sama. Oke, waktu itu saya beralasan ingin
mencari data untuk skripsi, and honestly
I did it! Kemudian saya berpikir ulang bahwa itu hanya alasan yang saya
buat untuk melakukan sebuah ‘pelarian’ singkat. Dan saya tidak menyesal pernah
‘berbohong’ seperti itu, karena saya mendapatkan kesenangan juga kebutuhan
untuk skripsi. Ahli Bahasa Indonesia akan mengatakan ‘sekali dayung, dua tiga
pulau terlampaui’ untuk hal ini, bukan?
Seperti backpacker sungguhan, saya pun memilih penginapan murah yang jauh
dari keramaian pusat wisatawan dan jauhnya akses kendaraan umum. Waktu itu saya
menginap di Hotel Puspita dengan harga kamar 80rb/ malam, dengan kipas angin,
kamar mandi dalam yang lumayan bersih, dan sarapan setiap pagi. Ku mohon jangan
hakimi atas pilihan saya ini, karena waktu itu saya masih menjadi pemula untuk
hal ini (bahkan masih sangat pemula hingga saat ini). Jarak antara tempat
menginap dengan shelter TransJogja sekitar 600 m, berjalan kaki sejauh itu
setiap hari cukup membuat kaki pegal karena tidak terbiasa sebelumnya. Hotel
itu juga milik keluarga, yang bagian resepsionisnya tidak bisa stand by 24 jam
di meja resepsionis. Sampai saat ini saya masih merasa bersalah karena mengetuk
pintu dan membunyikan bel berkali-kali pada pukul 2 pagi, di hari pertama saya
datang ke Yogya.
Hari pertama saya di Yogya, saya langsung menuju salah satu kampus terbesar
dan luar biasa untuk mencari bahan menulis skripsi. Ingat, saya menggunakan
skripsi sebagai alasan dan saya hanya berusaha memenuhinya saat itu. Usaha saya
tak sia-sia, beberapa buku saya temukan dan petugasnya bersedia memfotokopi
untuk saya ambil di hari terakhir saya di Yogya nanti. Setelah memastikan saya
memenuhi ‘janji’ itu, tentu saja saya bersenang-senang.
TransJogja berbeda dengan TransJakarta, sangat berbeda. Selama 4 hari di
kota ini, saya naik turun bus mini ber-AC warna hijau tersebut. Kartu multitrip
seharga 25 ribu rupiah sangat membuat perjalanan lebih efektif dan lebih murah.
Tetapi shelter yang disediakan kurang banyak, mungkin karena kota ini tidak
sebesar Jakarta. Saya lebih banyak berjalan kaki menuju tempat-tempat yang
ingin saya kunjungi. Pertama, saya harus jalan kaki lebih dari 1 km untuk
mencapai Taman Sari setelah turun dari TransJogja di kawasan antah berantah yang tidak saya kenal waktu itu. Lelah? Tentu saja. Menyesal? Tidak sama sekali. Jika wisatawan
mengunjungi Taman Sari, mayoritas akan menuju pintu masuk yang ada tiket
box-nya. Mereka akan disuguhi oleh kolam mandi para ratu dan putri keraton
terlebih dahulu, baru diajak mengelilingi Masjid Bawah Tanah dan reruntuhan ‘vila’
kerajaan dengan melewati kampung yang ada disekitarnya. Berkat TransJogja, saya
melakukan sebaliknya. Tanpa pengetahuan yang cukup, saya justru melewati
perkampungan, reruntuhan ‘vila’ kerajaan, Masjid Bawah Tanah, lalu bagian utama
Taman Sari. Tidak ada guide, tidak ada teman. Membuat saya leluasa berjalan
sambil mengamati perkampungan itu. Inilah mengapa saya katakan tidak menyesal
sama sekali.
Kedua, untuk ke Keraton Yogyakarta, saya harus turun di shelter Taman
Pintar atau shelter Malioboro 3 lalu berjalan kaki. Sebenarnya ada becak, waktu
itu saya berpikir mending jalan kaki daripada menghabiskan 10-15 ribu untuk
naik becak. Pemikiran kere? Terserahlah, saya tidak peduli dengan hal itu.
Terakhir kali mengunjungi keraton, saat saya kelas 2 SMP pada tahun 2007. Ada yang
berubah? Saya rasa tidak. Keraton tetap berdiri kokoh dengan abdi dalem yang
setia. Kalau dulu saya mengunjungi keraton dengan lebih banyak berkeliling dan
berfoto bersama teman-teman, saat itu saya lebih banyak menghabiskan waktu
dengan duduk manis menonton pertunjukan wayang lalu mengobrol dengan abdi
dalem.
Obrolan dengan abdi dalem cukup menarik. Pertama, abdi dalem yang saya
temui saat itu bukan kakek-kakek sepuh, tetapi bapak-bapak paruh baya yang
terkejut dengan anak gadis yang bepergian sendiri. “Bapak sudah berapa lama
mengabdi?” tanya saya pada beliau yang dijawab, mungkin seumur hidupnya ia
sudah mengabdi. Bisa dibayangkan, mata saya hampir copot mendengar hal itu. Tetapi
si Bapak segera mengkonfirmasi bahwa beliau sejak kecil sudah melihat kakek dan
bapaknya mengabdi untuk keraton, maka beliau pun memilih jalan yang sama. Luar biasa,
adalah kata yang tepat untuk menggambarkannya saat itu. “Semoga berhasil
kuliahnya, dan selamat menikmati Jogja,” diucapkan si Bapak ketika mengakhiri
obrolan dengan saya.
Ketiga, mengeksplor pasar buku di belakang Taman Pintar dekat dengan Taman
Budaya Yogyakarta tidak bisa saya lewatkan begitu saja. Hampir sama dengan
Pasar Buku Wilis di Malang, toko-toko kecil dengan koleksi buku bekas, baru,
hingga bajakan. Saya tidak berhasil mendapatkan Anna Karenina karya Leo
Tolstoy, tetapi saya mendapatkan serial Sherlock Holmes dengan harga super
miring.
Belanja di Yogya? Harus, ini menurut saya. Mirota batik, one stop shopping.
Di mana saya mendapatkan berbagai penak-pernik lucu untuk oleh-oleh keluarga
dan teman satu kamar kos. Pasar Beringharjo adalah pasar yang membuat saya
penasaran setengah mati. Pertama, tentu saja saya belanja batik di bagian depan
yang berderet stand-stand batik. Satu batik seharga 60 ribu untuk tubuh saya
yang besar, sudah cukup murah bagi saya. Tidak itu saja, penasaran saya berlanjut
sampai saya melangkah ke bagian belakang pasar yang menjual bahan-bahan untuk
membuat jamu tradisional. Aromatherapy
khas rempah-rempah langsung menusuk hidung saya, rasanya seperti menerima healing gratis. Bagi yang tidak suka
aroma macam itu pasti langsung pusing dan muntah.
The highlight dari solo trip saya adalah a date
with old friend. Sahabat cowok sejak SD hingga SMA, yang menempuh
pendidikan di Solo. Sejak lulus SMA, saya belum pernah bertemu dengannya hingga
dia rela menemui saya di Yogya saat itu. Kami janji bertemu di depan Taman
Pintar, kemudian mengisi perut di depan Pasar Beringharjo. Pecel murah meriah
dengan berbagai pilihan lauk dan es teh sebagai penyegar. Museum Affandi adalah
tujuan date kami saat itu. Menaiki TransJogja dari shelter Malioboro 3 ke
Museum Affandi di Jl. Laksda Adi Sucipto harus memutar jauh sekali diwarnai
dengan macet, hingga memakan waktu perjalanan sekitar satu jam. “Apa kabar?”, “Sedang
sibuk apa?”, “Sudah punya pacar?”, adalah tiga pertanyaan utama yang diajukan
untuk masing-masing diri. Sahabat saya ini luar biasa. Saya selalu menilainya
seperti itu sejak SD. Dia salah satu yang memiliki kekurangan di dirinya,
tetapi tidak menjadikan kekurangan itu sebagai kelemahan. Saya masih ingat,
saat lulus dari SD, guru saya curhat soal kekhawatirannya terhadap sahabat saya
itu. Khawatir dia menjadi bahan bullying, yang ternyata kekhawatirannya tidak
terjadi sama sekali. Sense of humor yang luar biasa dan kebaikan hatinya yang
juga luar biasa mampu menutupi segala kekurangan di dirinya, hingga ia bisa
melalui seluruh bagian hidupnya tanpa sedikitpun terganggu oleh pendapat orang
lain tentang kekurangannya. Tidak hanya itu, otaknya yang encer membuatnya
dipercaya oleh dosen dan mendapatkan pekerjaan yang yang sesuai passion-nya, tata kota. Dia juga salah
satu yang tidak roaming saat membicarakan isu-isu yang menjadi bidang saya
karena pengetahuannya yang luas.
Waktu itu dia minta maaf tidak bisa datang ke pemakaman ibu saya yang
terjadi pada 2010. Kemudian, saya bercerita tentang beberapa hal yang terjadi
pada hidup saya setelah kematian ibu saya kepadanya. Dia mendengarkan, hanya
mendengarkan. Sebelum dia kembali ke Solo petang itu, dia mengatakan yang
intinya “Kita harus traveling bareng kapan-kapan”, saya mengiyakan.
Malam itu di kamar hotel, saya sadar betapa beruntungnya diri saya. Pertama,
saya beruntung menemukan keberanian untuk traveling seorang diri. Kedua, saya
beruntung tidak pernah memburu diri saya sendiri untuk membuat diri saya sama
seperti traveler lainnya. Karena dengan melakukan segalanya secara perlahan dan
tepat, saya bisa menemukan kepuasan tanpa penyesalan sedikit pun. Ketiga, saya
beruntung memiliki sahabat seperti sahabat saya itu. Darinya saya belajar
mengolah kekurangan menjadi kekuatan, tidak menjadikan kekurangan sebagai
hambatan. Solo trip sederhana itu memberikan saya keberanian untuk melakukan
solo trip selanjutnya.
0 comments