Linkedin Instagram

Pages

  • Home
  • About
  • Contact

SEVY KUSDIANITA

let me tell you a story, about you and me falling in love deeply


"Menulis tak menunggu inspirasi, tapi menunggu kemauan (Sevy, 2012)"

Saya hanya menulis ini, hanya menuliskannya agar ada yang bisa saya tuliskan. Membingungkan memang.
Ya, saya mengalami writer's block! Ketika ide saya mampet, seperti pipa yang terhalang sampah.
Ide yang awalnya seperti air mengalir dari kran air, lalu kemudian BANG! Mampet!
Ini menyebalkan! Sangat menyebalkan.
Lebih menyebalkan dari pesan singkat yang tak berbalas, atau telepon yang tidak diangkat.
Writer's Block bisa dialami setiap orang, dan setiap orang pun punya cara sendiri untuk mengatasinya.
Ada yang meninggalkan tulisannya untuk sementara waktu, dan selang waktu itu digunakannya untuk jalan-jalan atau bermain-main sampai akhirnya sense menulis datang lagi bersamaan dengan ide yang lebih segar. Ada yang melampiaskannya pada makanan, dalam hal ini berarti dia akan makan banyak makanan. Atau bahkan mungkin ada yang sampai mengurung diri dalam ruang kerjanya.
Saya pun punya cara sendiri mengatasinya, yakni dengan menuliskannya. Saya menuliskan keadaan writer's block saya sendiri. Seperti sekarang. Atau saya menuliskan hal lain diluar tulisan utama yang saya kerjakan. Lebih banyak menulis tentang hati, patah hati dan jatuh hati. Jauh lebih melegakan ketika saya sudah menuliskan apa yang saya rasakan.
Writer's Block bukan harga mati bagi penulis untuk berhenti menulis. Itu hanya keadaan dimana kami merasa lelah dan merasa bosan. Wajar dan sangat manusiawi.
Saya banyak belajar dari penulis lain saat mengalami writer's block ini, bahwa saya harus mengenali keadaan saya sendiri lalu saya akan bisa mengatasinya sesuai dengan diri saya.
Ah, saya lega menuliskannya.
Saya masih menulis ternyata. :)
December 24, 2012 No comments

"Masih berpikir jarak itu ada? (Sevy, 2012)"

Bagiku, kamu tidak pernah jauh. Tidak sekalipun.
Ini bukan tentang berapa kilometer jarak yang terpaut. Bukan tentang kamu ada di mana, dan aku ada di mana.
Kamu dekat, hanya sejengkal dari bahuku. Membuatku mudah untuk bersandar.
Kamu dekat, sepanjang lenganku. Membuatku mudah untuk memelukmu.
Kamu dekat, hingga aku bisa merasakan napasmu.
Tunggu, kau paham maksudku bukan?
Ini masih tentang menjauhkan ego, peka merasa, dan jeli melihat.
Kamu tantang aku untuk mencari, dan aku menantangmu untuk berhenti sejenak untuk lebih peka merasa. Beranikah kau?
Kamu tantang aku untuk membuka hati, dan aku menantangmu untuk jatuh cinta padaku. Beranikah kau?
Ada ragu dalam matamu. Aku tahu itu.
Tenanglah, sebuah jawaban tidak akan pernah lebih jauh dari hatimu.
Benarkan kataku, ini masih tentang menjauhkan ego, peka merasa, dan jeli melihat. Lalu akhirnya kau akan bisa memahami, bahwa jawabannya tidak pernah jauh. Tidak sekalipun.
December 24, 2012 No comments
Hei Sang Penjelajah
Boleh aku bertanya padamu, ke mana tujuanmu? Ke bulan kah? Atau kau ingin ke luar angkasa?
"Keliling dunia," itu jawabmu.

Hei Penyebar Romantisme Alam Raya, kau memanggilku.
Boleh aku bertanya, mengapa kau suka sekali menulis puisi? menulis cerita? mengapa suka mendongeng?
"Supaya kau jatuh cinta padaku," jawabku.

Hei Pecinta Jalan Terjal
"Boleh aku ikut bersamamu?" pintaku.

"Untuk apa, wahai Pecinta Kata?"

"Supaya aku bisa bercerita, supaya aku bisa mencintaimu, dan supaya aku bisa menuliskan puisi tentangmu,"

"Tak takutkah kau akan bahayanya?"

"Bukankah bahaya itu indah, mengajari kita tentang kesalahan-kesalahan, tentang kebenaran-kebenaran pendapat alam. Supaya bisa menjadi hakiki. Bukankah kau yang pernah mengatakan itu padaku? Kau lupa?"

Sang Penjelajah tersenyum, si Penyebar Romantisme Alam Raya pun.

"Boleh?" tanya Penyebar Romantisme Alam Raya sekali lagi.

"Apa jadinya aku tanpa kamu," itu jawaban yang paling ingin di dengar semua Pecinta di alam raya.

Ini masih tentang perjalanan, ini masih tentang bahaya, dan ini masih tentang percaya satu sama lain.
December 18, 2012 2 comments
Saya memulai tulisan ini dengan rasa kecamuk di dada. Kecamuk marah dan kecewa, pada orang-orang yang saya cintai di tempat saya belajar selama empat tahun ini. Pada mereka yang menghancurkan percaya saya selama ini. Pada mereka dimana saya menaruh harapan untuk masa depan negeri yang saya cintai.

Saya gelisah. Tak bisa tidur semalaman, ketika mendengar beberapa orang yang selalu saya panggil dengan sebutan Aa, Abang, dan Mas (kakak laki-laki), yang saya anggap saudara sendiri terluka oleh hantaman adik laki-laki saya. Ah, mengapa ego begitu kejam. Mengapa mereka membiarkan ego menguasai diri mereka? Tak cukupkah mereka melihat ego telah membakar orang-orang yang ada di jajaran yang lebih tinggi dari mereka? Lalu mengapa pula mereka membiarkan ego melakukan hal yang sama terhadap diri mereka?

Saya tidak menyalahkan siapa pun, juga tidak membela siapa pun. Saya hanya terluka ketika mereka mengepalkan tinju kepada saudara mereka sendiri. Ketika kami sama-sama memiliki darah yang sama, ketika kami dilahirkan oleh rahim pertiwi yang sama. Saya teluka sangat terluka. Percaya saya di nodai, cinta saya ditampik sebegitu hebatnya.

Salahkah jika saya merindu saat-saat kita tertawa bersama, saat kita membangun rumah yang sama, saat kita  jatuh bersama. Saya rindu pelukan kalian, keluh kesah kalian di pangkuan saya, atau sekedar genggaman hangat tangan saat meminta kekuatan kala mengalami kepedihan.

Saya rindu. Saya rindu. Saya rindu.


December 18, 2012 No comments
Katakan kebenaran sebenar-benarnya yang ada (Sevy, 2012)

Tiga hari yang lalu, saya berkesempatan untuk jujur pada sahabat saya dan pada diri saya sendiri. Suasana malam yang menenangkan di sebuah cafe yang tak ramai pengunjung, kami berbicara. Tentang kejujuran hati dan tentang sakitnya hati. Secangkir cokelat panas dan milk-tea menemani bincang kami, mencoba menghangatkan hati yang sempat mendingin.

Tak ada yang istimewa, saya hanya mengungkapkan satu peristiwa yang sebelumnya saya pikir harus saya tutup rapat darinya. Satu peristiwa yang membuat saya kembali membuat jeruji untuk melindungi diri saya dari 'mereka'. Peristiwa yang membuat saya kecewa dan membuat saya menimbun banyak sekali penyakit yang membuat hati saya seperti dihujam ribuan pisau es. Dingin dan perih.

Satu per satu, kata demi kata, kalimat per kalimat, meluncur mulus dari mulut saya. Tak ada tangis yang merebak, tak ada sesal yang menghantam. Hanya saya dan kejujuran yang saya pilih untuk memulihkan luka hati saya. Saya memilih kata dengan tepat, memilih intonasi dengan cermat, membuat semuanya jelas. Rasa marah yang mampir, saya ungkapkan dengan tenang. Rasa kecewa yang hinggap, berubah menjadi kata-kata. Dan rasa benci yang pernah ada, perlahan melebur lalu hilang. Saya lega, saya merasa ringan.

Beribu maaf untuk sang Sahabat saya haturkan berkali-kali, sedikit menyesal karena menutupi ini cukup lama hingga membuatnya sedikit 'buta' dengan kondisi yang sebenarnya. Rasa sesalnya diungkapkan kepada saya, beribu maafnya pun meluncur dari mulut penuh pengharapan kebaikan, dan beribu terima kasihnya untuk saya dihaturkan dengan ketulusan yang tiada akhir. Tak ada lagi kecewa, tak ada lagi benci, dan tak ada lagi marah.

Saya dan dia, adalah murid dari kelas kehidupan. Kami belajar bersama untuk menjadikan diri kami sebaik-baiknya makhluk Tuhan, untuk bisa memberikan kebaikan pada setiap orang yang berharga. Malam itu, kami belajar tentang kejujuran hidup, kejujuran hati, dan kejujuran perbuatan. Berjanji untuk tidak menyakiti makhluk manapun dengan kekuatan hati yang kami miliki, berjanji untuk jujur pada diri sendiri hingga akhirnya mampu menyajikan kejujuran untuk kehidupan.

October 28, 2012 No comments
Tadaaaa....
Skripsiku selesai, sudah diujikan pula. Pas tengah tahun ini. Empat tahun tepat, seperti target awal.
Empat tahun aku belajar ilmu Hubungan Internasional. Belajar politik, belajar dunia di luar sana, belajar tentang mereka yang berjuang untuk mendapatkan rasa 'aman'. Well, aku menikmatinya.
Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Tentu saja menjalani mimpi. Sama seperti manusia lain, aku punya mimpi dan aku ingin berada dalam mimpi itu.
Aku bermimpi menuliskan ceritaku
Aku bermimpi menuliskan buku dengan namaku di sampulnya.
Aku bermimpi berbicara di depan sekelompok orang tentang cerita yang ku tulis, membubuhkan tanda tangan, kemudian meletakkan buku itu di salah satu sudut rak perpustakaan.
Aku bermimpi menuliskan cerita yang diangkat ke layar perak, diperankan oleh aktor dan aktris yang luar biasa
Aku masih bermimpi menuliskan cerita yang dipentaskan di panggung, dengan gagah dan mendebarkan. Menggetarkan hati setiap penontonnya.
Banyak hal yang sedang ku lakukan untuk menapaki mimpi-mimpi itu. Aku menulis dan menulis. Berkhayal. Melambungkan imaji liar hingga kabur akan batasnya. Aku menuliskan dongengku. Menceritakannya.
Mimpiku masih jauh juga makin dekat.
Eh tunggu, aku tidak sedang berkhianat bukan?
October 14, 2012 No comments
Aku hanya ingin mengomel tanpa aku harus menghabiskan tenagaku. Mungkin lebih tepatnya marah.
Marahku hanya berupa pertanyaan.
"Bagaimana jika kau hidup tanpa aku saja?"
"Bisakah kau hidup tanpa aku?"
"Bisakah kau tidak membuatku mengutuk diri sendiri?"

-ditulis dalam keadaan kecewa-
October 14, 2012 No comments
Sejauh mana batasku?
Bolehkah aku menanyakan itu kepadamu?
Aku pernah membayangkan, memiliki horizon di laut lepas sebagai batasku
Aku juga pernah membayangkan, tembok itu ada termasuk teralisnya.
Di sini, dekat sekali.

Sejauh mana batasku?
Haruskah aku menjadi robot kardus untuk menjelaskan batasku
Haruskah aku pura-pura tidak mengenalmu saat ditempat ramai
Atau haruskah aku mengabaikanmu saat kita membagi dunia
Atau haruskah aku meredam cemburu
batasku makin nampak, makin tebal

Batasku ada, batasku hidup
semakin nampak, semakin tebal
September 23, 2012 No comments
Hari ini aku bermimpi
Aku bermimpi menyandingkan kata-kataku dengan kata-katamu
Aku bermimpi menuliskan kumpulan celotehku bersamamu.
Hari ini aku bermimpi
Aku bermimpi menuliskan cerita tentang kamu
Tentang kekonyolanmu dan tentang bijakmu.
Aku menulis tentang kamu
Sekali lagi aku bermimpi
Aku bermimpi membagi impian itu bersamamu
Bersama duniamu
Membuatnya jadi harmoni, seperti lagu yang tak pernah kehilangan pitch-nya
Seperti lukisan yang tak pernah kehilangan warnanya
Dan seperti puisi yang tak pernah kehilangan rimanya
Sekali lagi aku bermimpi
Menuliskan puisiku, menuliskan kamu
Berawal dari ketiadaan, lalu menjadi ada
Ada dan utuh

*Kepada kamu, yang selalu punya mimpi
September 11, 2012 No comments
Selamat Ulang Tahun...
Untuk saya, dan untuk Ibu saya.
Saya tahu ini kurang beberapa jam sebelum hari ulang tahun saya datang, tapi saya ingin segera menulis ini. Saya ingin mengucapkan ini.
Jika ada orang yang harusnya diberi selamat atas hari lahir saya, yaitu ibu saya. Selamat Ibu, selamat telah membantu Tuhan meniupkan satu kehidupan ke dunia.
Terima kasih, telah mengijinkan saya berada dalam rimba amniotikmu yang hangat. Terima kasih karena telah memberikan saya napas, memberikan saya kehidupan, dan memberikan saya segalanya. Terima kasih karena berani bertaruh dengan hidupmu, meskipun taruhannya tak ternilai.
Jika ada orang yang saya rindukan saat ini, yaitu Ibu. Entah berapa kata lagi saya ucapkan tentang hal ini, dan entah berapa kata yang akan datang untuk rindu yang pasti akan datang juga. Saya rindu. Sangat rindu.
Saya masih ingin membagi kehidupan bersamamu, membagi mimpi saya denganmu.
Saya masih ingin memperkenalkan orang yang akan menjadi hidup saya nanti kepadamu, seperti Ibu memperkenalkan Ayah pada keluargamu dulu.
Saya masih ingin membagi bahagia saya denganmu. Hingga saya tak punya kekuatan lagi nanti.
Saya ingin mengambil sedikit saja keberanianmu untuk bertaruh seperti yang kau lakukan dulu. Bahkan mungkin saya ingin menjadi sepertimu.
Terima kasih karena telah ada. Terima kasih karena telah hidup bersamaku. Karena hanya bersamamu aku ada, hanya bersamamu aku utuh, dan hanya bersamamu aku hidup.
Selamat Ulang Tahun
September 08, 2012 No comments
Kepada senja
Kepadamu aku menitipkan jingga, menebarkan imaji liar. Lagi.
Tak perlu menjadi merah jambu jika kelam saja sudah menyampaikan rindu.
Senjamu juga tak perlu jadi merah, cukupkan saja keemasan untuk lampiaskan marah. Kepada rindu yang semakin membiru. Kepada laut yang menginginkan pulang.
Liarku masih ada, membawa dirimu dalam asa. Ketika kamera tak cukup mengabadikan rasa. Hanya kenangan mencapa dasawarsa.
Lalu akan kah kau masih terperangkap kisah dalam buku? Hanya imaji yang menjadikannya nyata, hanya suara yang menangkap kau ada.
Haruskah aku membacakan cerita supaya kau tak lagi terkunci, berteriak pada dunia yang meragukan eksistensi, berbisik pada laut yang menjadikanmu lukisan abadi.
Ah,
Ini semakin kelam, membuat rindu semakin termaram, lalu tenggelam.
Tak lagi merah.
Tak lagi membara.
Cukup kelam.
Cukum termaram.
September 02, 2012 No comments
Ada yang menarik tentang cinta, ia selalu berani.

Jika setiap orang pernah jatuh cinta, aku pun pernah. Saat menulis ini, aku sedang jatuh cinta.
Ada hal menarik tentang jatuh cinta

Bahagia
Aku selalu bisa bahagia. Saat berada di dekatnya, dan saat jauh darinya. Aku bahagia untuk diriku yang jatuh cinta. Aku bahagia untuk setiap bahagianya. Maka nikmat mana yang bisa kau ingkari?

Sakit
Jika tidak sakit, bukan jatuh cinta namanya. Aku akan cemburu jika dia lebih peduli dengan perempuan lain. Aku akan cemburu jika waktunya yang dihabiskan denganku tidak sebanding dengan waktu bersama dunianya. Aku juga cemburu tentang dunianya.
Aku akan sakit saat dia melukaiku, jika dia menginginkan agar aku tidak jatuh cinta padanya.

Bodoh
Setiap orang menjadi bodoh saat jatuh cinta, setiap orang jadi konyol saat jatuh cinta. Seperti saat kau punya mimpi, kau akan melakukan banyak kebodohan dan kesalahan saat berjuang. 

Move on
Move on bukan tentang melupakan, tapi tentang meneruskan hidup. Mungkin bagi sebagian orang move on harus melupakan, tapi tidak bagiku. Aku tidak bisa melupakan dengan paksa, aku pun tidak bisa melepaskan dengan paksa. Semua butuh proses, semua butuh usaha. Move on selalu tentang menjalani hidup dengan baik. Berani melangkah. Berani mengambil jalan yang memang kau inginkan. 

Berani
Jatuh cinta perlu keberanian. Keberanian untuk mencintai, diri sendiri dan dirinya. Lalu berani untuk memberi. Berani untuk terluka. Berani untuk tertusuk. Sama halnya dengan jatuh cinta pada mimpimu, kamu berjuang.

Hidup
Aku utuh saat mencintai. Aku utuh. Aku berani. Aku hidup.

*Terima kasih Tuhan, karena membuatku jatuh cinta setiap hari.
August 30, 2012 No comments
Aku

Aku. Tak ada yang istimewa dariku ketika kau bertemu denganku. Hanya saja aku percaya setiap orang diciptakan unik, aku pun begitu. Bagimu aku pemimpi, pemilik romantisme paling tinggi, pemilik dunia khayal lewat letiknya jemariku saat menuliskannya. Ya, aku pemimpi, aku penghayal. Bagi sebagian orang, aku bodoh. Aku pemilik emosi paling kuat, memaki jika memang dadaku sedang bergemuruh, mengungkap cinta setiap saat. Bagimu aku pun pintar. Kau selalu bisa menebak pikiranku, tapi tidak dengan hatiku. Aku penyembunyi ulung. Aku pembohong terbaik. Aku mencintai kamu, tanpa aku tahu kapan bertemu denganmu.


Kamu

Kamu laki-laki paling baik yang akan dan pernah aku temui. Kamu juga laki-laki paling hebat. Dan kamu, orang paling cerdas. Kamu meraih mimpimu, menjadikan dirimu hebat, dunia bisa kamu genggam. Kamu ada. Terima kasih, karena membagi mimpimu. Terima kasih, karena sudah ada di dunia. Humormu akan menjadi penghibur paling hebat. Aku akan jatuh cinta padamu setiap hari, bahkan saat kamu masih terlelap. Pelukmu akan menjadi penyemangat terbaik. Dan aku juga tahu, kamu akan menjadi pecium ulung. Puisi paling berirama, dan karya sastra terbaik dunia. Ijinkan aku membagi dunia khayalku. Ijinkan aku membawamu ke dalam mimpiku. Ijinkan aku menulis puisiku. Karena hanya bersamamu aku percaya, karena hanya bersamamu aku ada. Segala sesuatunya menjadi benar, segala sesuatunya menjadi nyata.


Teh

Jika ada sebagian orang yang menyebut suara ombak sebagai suara alam paling merdu, aku menyetujuinya. Bolehkah aku menambahkannya? Suara angin yang bergesekan dengan daun lalu membuat gemuruh lembut, juga suara alam paling merdu.
Aku duduk di rumah pohon itu, mendengar suara alam paling merdu. Mendengar angin menabrak jajaran daun teh terbaik di negeri ini. Aku mendengar Tuhan bernyanyi. Rasanya hanya ada aku dan Tuhan. Hanya kami. Berbincang.


Perjalanan

Hidupku perjalanan. Hidupmu perjalanan. Aku berjalan di jalanku. Kamu berjalan di jalanmu. Jalan ku tak pernah sama. Jalamu tak pernah tak berbeda. Aku pernah memutar. Kau pun pernah tersesat. Aku pernah berpikir menemukanmu saat aku melihatmu dipersimpangan. Mungkin kau juga pernah mengenaliku. Kita pernah ada di persimpangan yang sama. Kita pernah berdiskusi tentang suatu jalur. Waktu itu kau bertanya padaku, apakah jalur yang akan kau tempuh itu tepat, tanyamu sambil menunjuk suatu jalan. Aku pernah mendengar jalur yang kau sebutkan, jalan itu panjang, penuh debu, batu, dan lumpur. Aku bukan tipe orang yang akan memilih jalur itu. Kau berbeda, kau ingin melewatinya. Bagimu itu tantangan, bagimu itu tepat.. Aku mendengar mimpi di kata-katamu. Aku juga mendengar cinta di dalamnya. Aku pun mengangguk. Aku percaya padamu, aku percaya pada jalan itu.
Kau pun bertanya, tentang jalan yang ku pilih. Aku menunjukknya. Jalan itu juga seperti lorong menuju dunia Alice. Kadang seperti lorong waktu di laci meja belajar Nobita. Kau melihat kegelapan di sana. Lama. Lalu matamu tertuju padaku. Kemudian kau tersenyum. Aku tahu kau juga percaya padaku.
Lalu kau melangkah, aku pun melangkah. Sebelum masuk ke jalan masing-masing, kau memberiku satu hal paling indah. Senyummu. Ya, aku menyukainya sejak awal. Aku jatuh cinta sejak awal. Aku jatuh cinta padamu.


Kita

Kita akan bertemu. Di persimpangan lagi. Hanya saja kali ini kau memelukku lebih lama di persimpangan itu. Memintaku untuk berada di jalan yang sama. Memintaku untuk berada disisimu. Ada ketakutan dalam suaramu. Ada harapan pula didalamnya. Hanya perlu satu anggukan untuk meyakinkamu. Kau masih percaya padaku, seperti pertama kali dulu. Aku menemukan jemariku dalam genggamanmu. Aku menemukan diriku berada di jalan penuh batu tajam itu. Aku menemukan diriku bersamamu. Aku. Kamu. Perjalanan. Kita.



*Terima kasih untuk kamu yang pernah ada, yang saat ini ada, dan yang akan ada.
August 30, 2012 No comments
'Aku bernapas. Aku hidup. Aku bermimpi. Aku hidup dalam mimpiku.'

aku bermimpi terbang menaiki awan - awan putih nan lembut dan manis. menyentuh air yang menjadi cermin dari sana. memandang cakrawala tanpa batas. biru. bersih. jauh.

aku bermimpi tidur di tengah kelopak bunga ceri di musim semi. angin yang menggugurkan daunnya menggelitik ujung hidungku. jaket musim semi warna krem menjadi bantal. bunyi burung menjadi suara alam paling menenangkan. damai. hangat.

aku bermimpi duduk di pinggir pantai. mendengar suara ombak, suara alam paling merdu. memandang horizontal tak berkesudahan. aku bermimpi kau ada di sana. bersamaku. aman. dekat. tak ada khawatir.

aku bermimpi berjalan di kota asing dengan es krim di tangan dan topi musim panas di kepalaku. jalan itu ramai. jalan itu riang. ada penjual gantungan kunci, es sirup segar, soda, bahkan badut. peluh mengganggu, panas menyengat. tapi kau ada. aku mengamit lenganmu.

segala sesuatunya ada. segala sesuatunya benar.
membagi mimpi. bahagia dalam mimpi. hidup menjalaninya.
bahagia.
August 23, 2012 No comments

"Suatu hari kita akan bertemu lagi, menertawakan kebodohan masing-masing lagi. Sambil minum kopi tentunya. Lalu ditegukan terakhir kita akan saling mengucap selamat tinggal, lagi. Hanya persimpangan, itulah kita."

Saya baru saja menyelesaikan novel ini. Baru kemarin. Saya menyukainya sekaligus sedih. Tulisan yang benar-benar hebat, berputar-putar tapi lalu kembali lagi ke Dex dan Em.
Ya, Dex dan Em. Em dan Dex. Dua manusia. Dua puluh tahun. Satu rasa, berbeda dunia, bahkan hingga akhir cerita. Cerita cinta biasa, antar sahabat baik dengan idealisme tinggi dan kenaifan yang juga tak kalah tingginya. Saling meraih mimpi masing-masing,  berjalan di jalan masing-masing. Tapi tak pernah bisa melepaskan diri dari diri masing-masing. Tak bisa saling menyingkirkan, bagaimanapun usaha mereka. Hingga akhirnya justru Tuhan yang membuat dunia mereka benar-benar berbeda. Tokoh utama wanitanya, Em, harus mati ketika mereka baru saja memutuskan untuk tidak saling menyingkirkan. Dex pun benar-benar harus mengalami hidup tanpa Em, yang tak sekalipun pernah dia menyangka akan mengalaminya. 

Membaca novel ini seperti naik roller coaster. Kita disuguhkan pemandangan yang indah ketika kereta naik, tapi pemandangan itu hilang seketiuka saat keretanya turun dan meluncur dengan kecepatan tinggi, menakutkan dan membuat kita mual. Itulah saat Em berkata, "Aku mencintaimu Dex, amat sangat mencintaimu, dan sepertinya akan terus mencintaimu. Aku hanya tidak menyukaimu lagi." Saya begitu mual saat mencapai bagian ini. Kemudian Em meninggalkan Dex, benar-benar meninggalkannya untuk menjalani hidupnya sendiri.

Menyebalkan memang, ketika suatu kisah yang seharusnya bahagia malah berakhir tragis. Tapi bukan disini intinya. Saling menemukan, itulah intinya. Seperti ketika kita harus memutar untuk menemukan apa yang sebenarnya kita cari dan kita butuhkan, tapi ternyata hal itu sangat dekat dengan kita, hingga tidak kita sadari. Jungkir balik hidup Em ketika tak ada Dex, dan jungkir balik Dex ketika tak ada Em, adalah cara mereka untuk mengambil jalan memutar hingga akhirnya menemukan apa yang mereka cari dalam diri masing-masing. Jalan memutar. Ya, kita perlu jalan memutar untuk tumbuh, untuk membuat kesalahan., dan untuk menemukan.

July 29, 2012 No comments
penaku menari lagi malam ini, semakin cepat dan semakin bersemangat
menuliskan tentang mimpi, tentang asa yang tak pasti
penaku meliuk-liuk lagi, saat ku tuliskan kata tentang dirimu, tentang mimpimu
pernah aku bermimpi untuk melihat deretan sakura yang mekar, berjalan di bawah warna merah mudanya yang lembut, lalu berbaring dibawah atap hangat matahari dengan alas kelopaknya yang jatuh
pernah aku bermimpi tidur di pangkuanmu dengan perutku yang membesar, membaca buku favoritku, dan lagi-lagi matahari dan angin hangat menjadi selimutku
pernah kau bermimpi berjalan menapaki setapak batu dengan jas musim dingin warna hitam selutut, boot hangat, dan syal merah melingkar di lehermu. sementara salju pertama musim itu perlahan turun.
pernah kau bermimpi berdebat dengan teman hidupmu tentang nama jiwa yang ada di dunia amniotiknya, sambil membuatkan susu hangat untuknya sebelum kalian saling memeluk dalam gelap nan hangat
kau menyebutnya bahagia, aku menyebutnya bagian dari perjalanan

lagi-lagi penaku menari, berdansa dengan tiap kata yang ditulisnya.
siapa kamu, dan siapa aku. penaku bertanya.
aku tidak perlu menjawabnya, tidak juga ruang bahagia dan patah dalam diriku.
penaku akan tahu, ketika ada yang memilihku sebagai jawaban atas segalanya.
July 19, 2012 No comments
Aku tidak pernah benar-benar sadar apa yang telah kau lakukan padaku semalam, atau malam-malam sebelumnya. Aku hanya tahu ada rasa nyeri di dadaku setiap pagi, saat kamu tiba-tiba hadir di pikiranku.
Rasanya seperti minum kopi yang sudah dingin, mual dan sangat asam. Lalu ada yang pecah dalam diri, berkeping-keping hingga susah dibedakan pasangannya.
Mengapa begitu sulit ketika kau ada? Dan rasanya mengapa lebih sulit lagi ketika kau berada di antah berantah?
ada yang telah mematahkanku sebelum kau ada, ada yang pernah membuatku berkeping-keping sebelum kau di duniaku.
ada toples berisi kepingan-kepinganku, ku simpan begitu rapat. tak pernah ku tunjukkan pada siapapun.
ah, tapi mengapa kau selalu memintaku menunjukkan kepingan-kepingan itu? apakah kau tidak takut pada darah? apakah kau tidak akan mual setelah melihatnya?
ruang patahku bukan tempatmu bermain. jika kau salah langkah kali ini, mungkin kau akan membuat patahan lagi. entah patahan untukku atau justru kau yang akan patah.
mari jabat tanganku, kompromi. supaya masing-masing dari kita tidak membuat patahan untuk satu sama lain.
July 18, 2012 No comments
'Aku percaya padamu'.
masih ingat kapan aku mengucapkannya padamu? masih ingat juga kah mengapa aku mengatakannya padamu?
aku masih mengingat kapan aku mengatakannya dan mengapa aku mengucapkannya. dan aku masih ingin tetap mengatakannya padamu.
aku percaya pada setiap kekuatan yang kau miliki untuk mengubah dunia
aku percaya pada setiap kekuatan yang kau miliki untuk meraih semua bintang itu.
aku percaya pada setiap cinta yang kau miliki untuk memeluk seluruh dunia.
aku percaya pada setiap percayamu padaku, untuk tetap percaya padamu.
hanya saja kali ini aku ingin menambahkan,
'jika yang lain tak percaya, asalkan kau percaya maka aku pun akan masih eksis.
jika yang lain tak percaya, begitu juga kau, maka aku akan seperti buih. ada lalu hilang tak berbekas
jika nanti percayaku pudar, namun kau masih percaya padaku, percayalah aku akan kembali'

July 18, 2012 No comments
Dear Sissy, congratulation...
Selamat ya untuk keberhasilanmu masuk kelas unggulan di salah satu sekolah favorit.
Selamat juga karena begitu aku mendaftarkan ulang dirimu, kamu akan resmi jadi murid SMP.
Satu langkah menuju kedewasaan, Sissy
Saya bangga padamu
Ayah juga bangga padamu
Ibu pun akan bangga padamu di alam sana
Sissy, aku percaya kamu akan menjadi dewasa dengan caramu. dan menjadi berguna dengan caramu pula.
Banggakan kami semua Sissy, lagi-lagi dengan caramu sendiri. Karena hanya dengan menjadi dirimu kami akan bangga padamu.
Aku mencintaimu, Sissy. Kami mencintaimu.
May 28, 2012 No comments


Untukmu aku berikan segala yang aku punya
Untukmu pula aku rela meletakkan beberapa mimpiku, hanya supaya aku bisa mendampingimu dan membuatmu menjadi perempuan dewasa yang mencintai Tuhanmu
Karenamu, untuk pertama kalinya aku ingin menjadi perempuan biasa. Perempuan yang mengabdi pada keluarganya, dan perempuan yang mendidik anak-anaknya sesuai dengan pinta Tuhan.
Karenamu pula, aku mengubah pandanganku tentang mimpi. Tentang apa yang seharusnya aku lakukan. Mimpi bukan tentang menjadi hebat, tapi mimpiku tentang memberi bahkan saat aku tidak dalam keadaan mampu secara materi atau fisik.
Hanya dengan disampingmu aku bisa menyediakan bahu dan pelukan yang kamu butuhkan. Dan hanya disampingmu aku bisa menguatkanmu untuk mendaki gunung bersama-sama, lalu mencapai puncak.
Untukmu, hanya untukmu.
May 16, 2012 1 comments
Siang itu, saya duduk di depan televisi bersama ayah saya. Ayah saya ini rambutnya sudah mulai memutih, dan binar matanya sudah tampak redup. Saya juga tahu mengapa ayah tampak begitu lebih tua dari usianya yang belum menginjak lima puluh. Ayah sedang mengalami banyak masalah, dan siang itu kami memilih untuk tidak membicarakan masalah Ayah ini.
Siang itu, ayah menceritakan kepada saya tentang pekerjaannya. Tentang bagaimana dunia kerja. Ayah memberitahu saya tentang hubungan yang akan terjadi di sebuah pekerjaan, konflik yang nantinya mungkin akan saya hadapi, dan persaingan apa yang menanti saya di depan. Saya terdiam lama sekali, sampai akhirnya saya bertanya,
"Nanti aku bakal jadi apa ya, Yah?"
Ayah saya menjawab, "Ya apa aja yang kamu suka,"
Saya mengerutkan kening mendengar jawaban beliau.
"Ayah sih ngga masalah kamu mau kerja di mana mbak," beliau melanjutkan. "Kalau kamu dapat beasiswa buat sekolah lagi pun, ayah ngga masalah."
Saya terdiam.
"Lakukan saja apa yang kamu suka, karena ayah itu percaya kalau kamu menyukai apa pun yang kamu kerjakan, kamu pasti bisa menghasilkan sesuatu yang baik bagi kamu, juga bagi apa yang kamu kerjakan. Ayah tahu kamu suka menulis, kamu suka buku. Jadi, menulislah, kalau kamu memang suka. Buat buku sesuai sama imajinasi dan kreatifitas kamu. Ayah kepengen baca buku tulisan kamu, mbak."
Saya hanya tersenyum kecil, menahan kaca yang ada di mata supaya tidak leleh menjadi air.
May 13, 2012 No comments

Saya rindu berbincang ditemani secangkir kopi asam milikku dan secangkir cokelat manis milikmu yang mulai dingin, sementara bincang kita tak ada tanda usai

Saya rindu percakapan intim ditemani seliter ice cream double dutch dirumahmu, kita duduk dilantai, masing-masing memegang sendok. Kamu berbicara tentang kekasihmu sementara saya mendengarnya, sesekali menepuk bahumu ketika kamu mulai menangis

Saya merindukan berbincang ditemani dua cangkir espresso double scoop favorit kita. Kamu bercerita tentang harimu dan rencana masa depanmu. Saya selalu bersemangat mendengarnya.

Saya rindu percakapan ditemani dua gelas susu hangat, kadang gerimis kecil. Kamu sedang lelah hari itu, segelas susu dan berbincang bisa menghilangkan lelahmu. Saya senang, pernah menjadi bagian dari itu.

Saya rindu tawa yang menyelingi makan malam kita. Waktu itu meja penuh dengan makanan membahana. Dan kamu menikmatinya.

Saya rindu. Titik. 
May 08, 2012 No comments


Adelaide Sky by Adhitia Sofyan, saya tidak tahu kenapa saya tidak bisa berhenti memutar lagu ini di playlist saya. Tapi saya begitu hanyut dalam nuansa musik yang disajikan Adhitia ini. Saya serasa menjadi seseorang yang ada didalamnya, dimana saya menunggu seseorang yang sedang pergi.
Menunggu itu mungkin tak pernah ada habisnya untuk dituliskan atau dibicarakan. Begitu banyak emosi yang terlibat dalam suatu hal yang bernama menunggu. Bagi saya, tak ada yang salah dengan menunggu dan tak akan pernah bisa dihindari.
Dalam menunggu, saya selalu bisa dengan jelas membayangkan apa yang saya tunggu. Jika saya menunggu seseorang, bayangan wajahnya akan tercetak jelas di pikiran saya, bahkan mungkin di pupil mata saya. Saya akan terus mengingat hal - hal yang pernah saya lalui bersama dia, entah itu yang membuat saya kesal setengah mati atau yang membuat saya terbahak-bahak. Saya selalu punya cadangan memori jika harus mengenang seseorang. Ketika menunggu saya selalu merasa bingung dan cemas, harapan selalu tersempil saat saya menunggu. Selalu ada pertanyaan, apakah saya harus terus menunggu ataukah saya harus berhenti.
Dalam menunggu juga selalu ada pertanyaan, sedalam apakah saya mencintai apa yang sedang saya tunggu dan mengapa saya hampir selalu memilih untuk tetap menunggunya. Saya tak pernah tahu jawabannya, mungkin jika saya tahu saya akan berhenti mencintainya dan mungkin juga berhenti menunggu. Saya tidak ingin itu terjadi, jika saya tidak mencinta dan tidak menunggu hidup saya pasti akan sepi sekali.
Lagi-lagi saya memutar lagu ini, ah saya tidak tahu. Mungkinkah saya merindukan dirimu? Mungkinkah saya sedang menunggu kamu?
May 08, 2012 No comments
Hei kamu, iya kamu. Apa perlu saya menyebutnya dengan gamblang bahwa kamu teman kencan saya? Ah, saya rasa kamu akan malu mendengar saya menyebutmu begitu. Baiklah, saya akan menyebut kamu saja. Iya, kamu saja sudah cukup.
Kemarilah sebentar, saya ingin menceritakan satu rahasia saya kepada kamu. Rahasia tentang apa yang saya rasakan ketika kita merencanakan untuk menghabiskan waktu, merencanakan kencan. 
Saya selalu bersemangat ketika kita mulai set a date, and have some dinner. Karena saya tahu saya akan memiliki waktu yang menyenangkan, bahkan tak jarang menjadi rumit. Hal itulah yang membuat hati berdebar-debar karena senang. 
Saya akan bingung memilih baju mana yang akan saya pakai, saya tidak ingin kelihatan berlebihan di mata kamu, tapi saya juga ingin terlihat cantik. Kemudian pada akhirnya, saya akan memilih pakaian yang nyaman untuk saya pakai. Kamu tahu kan, saya cenderung memilih apa pun yang saya nilai nyaman. Dan saya memilih menjadi diri saya sendiri saat akan kencan denganmu, karena saya tahu kamu menyukai saya yang menjadi diri saya sendiri.
Lalu saya akan berhati-hati menggunakan make up. Eh salah, saya tidak pernah pake make up. Cukup dengan pelembab, bedak, dan pelembab bibir saja. Sekali lagi saya tidak ingin merasa tidak nyaman. Saya ingin bebas ngobrol sama kamu nanti, jadi sekalian saja saya nyamankan diri saya.
Saya pun berhati-hati menyemprotkan parfum ke tubuh saya. Tidak banyak, tapi saya yakin akan membuat aroma saya menyegarkan hidung kamu. Semoga kamu tidak pilek, jadi bisa mencium aroma tubuh saya.
Kemudian saya akan berkali-kali melihat jam tangan yang sudah melingkar rapi di pergelangan tangan saya, menunggu waktu janjian kita dengan gelisah. Harap-harap cemas, sering kali takut juga kalau membayangkan kamu akan membatalkan janji di waktu-waktu terakhir. Kadang ponsel saya berdering, pesan darimu pun masuk, mengabarkan bahwa kamu akan sedikit terlambat menjemput saya. Tak apa, saya selalu menjawab begitu. Saya menunggu, dan kamu juga selalu tahu, bahwa saya akan tetap menunggu sampai kamu bilang jangan menunggu lagi. Kamu benar-benar memahami karakter saya.
Ketika kamu sudah ada di depan pagar rumah saya, saya selalu sumringah melihat wajah kamu. Apa kamu melihat semburat merah dipipi saya waktu itu? Ah, saya harap saya bisa menyembunyikan semburat merah itu. Saya terlalu malu, untuk urusan ini. 
Kita tidak pernah benar-benar merencanakan dengan jelas tujuan kita setiap kali kencan. Keputusan mendadak selalu tercipta. Seperti makan apa dan dimana. Saya tidak keberatan dengan itu, saya selalu ikut kemanapun kamu mengajak saya. Dan hebatnya, kita ini sama-sama pemakan segala. Jadi tidak akan susah mencari tempat makan yang sesuai dengan lidah kita. Selera kita tentang makanan hampir selalu sama.
Obrolan demi obrolan pun mengalir di sela-sela makan malam kita, entah itu tentang hal menyebalkan yang kamu alami atau cerita tentang kamu yang sedang jatuh cinta kepada seorang perempuan cantik. Saya selalu suka mendengar ceritamu. Tak jarang, kamu yang mendengarkan cerita saya pada beberapa kencan kita. Cerita tentang tulisan saya, atau cerita tentang pria yang membuat saya jatuh cinta kemudian patah hati. Tak peduli cerita senang atau sedih, kita hanya menikmati waktu bersama. Berdua, hanya kita.
Tak jarang pula kita membicarakan tentang politik, topik yang cukup berat tapi bisa membuat kita bertahan lama di suatu tempat hingga lupa waktu. Pembicaraan kita selalu melibatkan cangkir kopi dan cangkir cokelat yang lama-lama menjadi dingin, tetapi obrolan kita semakin panas.
Saya selalu suka berbicara dengan kamu. Kamu selalu bisa membuat saya bertahan mendengar cerita kamu atau berbicara denganmu, sampai saya tidak ingin pulang. Apa kamu juga merasa seperti itu setiap kali kita kencan?
Saya juga senang ketika kita memutuskan jalan-jalan mengelilingi kota, menikmati angin yang menerpa wajah, sesekali melihat apa yang terjadi di sekitar. Saya selalu suka berada di boncengan motormu, kamu yang membonceng tentu saja, rasanya aman berada di balik punggungmu.
Kata orang, kencan membawa kita pada cinta. Aku setuju dengan kata orang itu. Karena bagiku, kita memiliki cinta dengan cara kita sendiri yang orang lain mungkin tak akan paham. Saya mengasihi kamu, dan kamu mengasihi saya. Tapi saya tidak pernah jatuh cinta padamu, dan kamu tidak pernah jatuh cinta pada saya. Kita hanya punya chemistry yang sama, memiliki keinginan untuk berbagi cerita. Bukankah itu luar biasa? Bagaimana menurutmu?
Ah, saya selalu senang kencan denganmu. set a date, have some dinner, and talk some random things. Buktinya saya selalu tersenyum sebelum jatuh tidur setelah kamu mengantarkan saya pulang. Saya selalu tersenyum dalam tidur saya setelah kencan sama kamu.

berbagi itu menyenangkan bukan?


Hei kamu, saya bisa melihat semburat merah di pipi kamu loh. :)
May 04, 2012 No comments
Linikala terus berjalan, saat aku menunggu matahari senja masa itu. Secangkir kopi hitam pekat dan asam turut menunggu. Lagi-lagi titik-titik perak jatuh dari langit, membuat jendela mengembun, menghalangi pandangan, lalu membuat khawatir. Matahari senja enggan muncul.
Aku bernapas satu-satu dan perlahan, diselingi helaan panjang yang berat. Dadaku sesak seperti ditendang, tak mampu membuat ruang. Kaca berembun menghalangi pandangan. Kopi pun menjadi dingin. Dan kau belum muncul. Ah, sebenarnya apa atau siapa yang ku tunggu? Titik-titik hujan mengaburkan segalanya.
Aku mulai bertanya pada cangkir kopiku, sedang apa kau sekarang? Masihkah berkutat dengan dirimu sendiri? Masihkah mencari jati diri?
Aku pun mulai bertanya pada embun jendela, apakah kau pernah memikirkan aku? Apakah kau pernah memiliki keinginan untuk mengabulkan setiap waktu yang kuhabiskan untuk menunggumu? Apakah kau pernah mencoba melihat ke kaca jendela yang aku pandangi sekarang, melihat ke dalam, ke arahku?
Titik-titik bening pun mulai menyingkir, mengizikan matahari senja menghampiriku. Namun secangkir kopi dihadapanku mulai dingin, asamnya membunuh lambung.
Lalu kutemukan diriku masih bertahan menatap kaca, mencari sosokmu yang menatap kaca yang sama, lalu melihat ke dalam, ke arahku.
Kau tahu kemana harus menjemputku, bukan?
March 31, 2012 No comments
titik-titik bening jatuh dari langit seharian ini. membawa basah, lembab, dan suhu yang tidak bersahabat.
langit abu-abu selalu tidak bersahabat, pikirku. menusuk daging hingga tulang, membuat ngilu semua hal yang awalnya baik-baik saja. membuat ingin tetap bergelung, hingga abu-abu kembali menjadi biru.
tapi langit bertahan dengan warnanya hari ini, hingga matahari menggelincir pergi. bisa dibayangkan suhu yang sudah tak bersahabat bertemu dengan kegelapan. menjadikan semuanya semakin tak menyenangkan.
hingga akhirnya tiba-tiba hangat merambat tubuh ini, lalu kemudian merambat hati. lebih dari jaket yang menyelimuti, lebih dari kaus kaki yang membungkus, dan lebih dari sarung tangan yang bergelung dengan jemari. terlebih lagi lebih dari sekedar pelukan mesra.
bukan karena hal istimewa, hanya hal sederhana. kecil namun mampu menjadi matahari saat langit abu-abu, saat matahari sebenarnya sudah pergi.
mendengar cerita sehari-hari, mendengar keluhan, dan mendengar idealisme menggebu. hanya mendengarkan dan menanggapi di tempat yang tepat.
bukan tentang seberapa dekat, namun tentang keberlanjutan untuk berbagi. bukan tentang cinta, tapi tentang kebutuhan untuk peduli. bukan tentang ingin bersama, tapi tentang melengkapi.
tak pernah ada yang istimewa, tak pernah ada emosi menggebu.
hanya kemampuan untuk duduk dan saling mendengarkan. hanya kemampuan untuk belajar berdansa.
membuat suhu yang menusuk, menjadi selimut tak kasat mata.
Wahai kekasih alam, tetaplah jadi penghangat.
genggam tanganku, dan ajari aku menari dalam hujan, Wahai jiwa-jiwa yang utuh.
tarik aku, ajari aku untuk tetap menjadi penghangat, wahai kekasih Tuhan.

*beruntungnya aku yang pernah menjadi penghangatmu
March 21, 2012 1 comments
Dear Tuhan,
Saya tidak ingin bertanya tentang surga dan neraka kali ini. Saya hanya ingin Engkau menyampaikan isi surat saya ini pada ibu saya.
Katakan padanya, bahwa saya merindukannya saat ini. Merindukannya besok dan besoknya lagi.
Saya begitu sedih saat beliau tidak ada di saat-saat penting saya setahun terakhir ini. Pada setiap moment bahagia maupun jatuh. Saya menjadi orang yang lebih cengeng akhir - akhir ini, menangis saat saya lega atau bahagia, dan menangis saat saya sakit atau jatuh. Bahkan akhirnya saya jadi susah membedakan mana tangisan sedih dan mana tangisan senang.
Ingin sekali saya menceritakan hari - hari saya kepadanya, seperti dulu. Menceritakan setiap detailnya, tanpa ada yang saya tutupi.
Ingin sekali saya menceritakan tentang perkembangan studi saya, bahwa saat ini saya sedang menyusun tugas akhir. Bahwa saya ingin menyebutkan namanya dalam lembar persembahan hasil akhir saya.
Ingin sekali saya menceritakan bahwa saat ini saya mengajar anak - anak di sela-sela waktu luang saya. Membantu mereka mengerjakan PR atau sekedar membuat mereka senang dengan kuis-kuis yang saya buat.
Saya juga ingin beliau tahu bahwa saat ini saya sedang senang-senangnya menulis, menjadi penulis skenario untuk proyek film indie, dan juga sedang membuat buku bersama beberapa teman.
Tuhan, katakan padanya, saya ingin dia ada saat saya berhasil melakukan apa pun yang saya lakukan.
Saya tidak sanggup lagi membayangkan apa yang akan saya hadapi di depan tanpa beliau disamping saya. Saya memang manja, tapi sungguh hanya beliau yang saya butuhkan.
Saya tidak sanggup membayangkan tentang ujian skripsi yang menanti saya di depan tanpa mendengar restu dan doa darinya.
Saya tidak sanggup membayangkan memakai kebaya dan toga tanpa mendengar pendapat darinya, tanpa ada foto dirinya di samping saya nanti.
Saya juga tidak sanggup membayangkan saat saya memakai kebaya, kemudian duduk disamping calon suami saya untuk mendengar pengikatan janji seumur hidup kami, tanpa ada beliau disamping saya. Jangankan hal itu, saya bahkan tidak sanggup membayangkan dia tidak mengenal calon suami saya sebelum kami menikah nanti.
Tuhan, saya tidak sanggup. Tuhan, katakan padanya, saya membutuhkannya.
Tuhan, saya merindukannya
Tuhan, saya ingin dia bahagia
Tuhan, saya juga ingin bahagia bersamanya
Tuhan, jika saya tidak berhasil menjaganya di dunia, saya mohon jaga dia di sisimu. Saya percaya, bahwa Engkau lebih mampu menjaganya dengan baik
Tuhan, katakan padanya, saya mencintainya.
Ibu, saya merindukanmu.
Ibu, kuatkan saya meskipun saya tidak bisa menggapai tanganmu lagi.
March 19, 2012 No comments
aku memandang gerimis sore ini, lewat kaca jendela yang sudah dingin
hanya desah napas dan tubuhku yang membuatnya hangat, lalu sedikit berembun
titik-titik air membasahi tanah, lalu menghantarkan jutaan bayang tentang kamu
tentang kamu yang pernah datang
tentang kamu yang pernah peduli
tentang kamu yang pernah tertawa bersamaku
tentang jalan yang kau pilih
tentang jalan yang aku pilih
tentang aku, kamu, lalu tentang dia
kemudian tentang punggungmu yang semakin jauh, atau barang kali tentang aku yang pergi
aku tidak pernah mengerti mengapa ada gerimis lalu hujan
mengapa ada hujan kemudian pelangi
sama seperti aku tak pernah bisa memahami mengapa kamu datang lalu pergi
sama seperti aku tak pernah bisa mengerti mengapa aku pergi darimu, namun kamu tak pernah menahannya
aku menanti gerimis berubah menjadi hujan
supaya aku bisa menarikmu lagi, berteduh disini bersamaku
supaya aku bisa bertanya padamu, 'Apa kabar, hujanku?'
lalu bertahan sejenak disini, sebelum dia kembali menjemputku
March 05, 2012 No comments
Hari itu 22 Juli 2011, pukul 4 sore waktu Jakarta. Saya baru saja keluar dari kantor, tempat magang saya. Terburu - buru, dipenuhi rasa senang dan rindu. Saya akan pergi ke Bandung, mengunjungi salah satu cinta saya, salah seorang dimana saya selalu memiliki alasan untuk berjuang. Saya akan mengunjungi kakak saya hari itu.

Begitu sampai rumah, saya melakukan segala sesuatunya dengan cepat. Mulai dari packing hingga menginjakkan kaki ke jalan. Entah mengapa tinggal di kota yang serba terburu-buru dan cepat ini, membuat saya melakukan hal yang sama. Cepat dan terburu-buru. Maklum saja, saya pikir saya harus sampai di shelter travel satu jam lebih awal, macetnya Jakarta tidak bisa dikompromi bukan?

Rumah tempat tinggal sementara saya di daerah Rawamangun, shelter travel ada di daerah Cempaka Mas. Lumayan jauh, dan ongkos taksi akan sangat mahal ditengah macetnya Jakarta sore ini. Jadi saya putuskan naik metro mini, lalu ojek menuju ke sana. Panas, lengket, dan berdebu. Tapi tak menyurutkan buncah di dada.

Travel yang membawa saya ke Bandung berangkat pukul setengah tujuh. Saya punya waktu yang cukup untuk sholat maghrib dan sedikit mengamati sekitar saya. Dalam waktu menunggu itulah saya teringat seseorang yang hingga hari itu masih ada dipikiran saya.

Tiba - tiba saya begitu merindukan dia waktu itu, ingin tahu bagaimana kabarnya. Tanpa pikir panjang, saya mengeluarkan ponsel dan mengetik untuk dia. Lalu dimulailah percakapan singkat, melalui sms. Saya lega mengetahui kabarnya, dan saya mulai berpikir tentangnya.

Berbagai pertanyaan mulai hadir di benak saya. Pertanyaan utamanya adalah, mengapa saya selalu peduli sama dia, padahal dia belum tentu masih peduli sama saya. Pertanyaan rentetan berikutnya adalah, mengapa saya yang selalu lebih dulu menanyakan 'apa kabar', mengapa begitu cepat pedulinya pada saya hilang, mengapa tidak pernah menanyakan tentang saya lagi. Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Berkali-kali menghela napas. Berkali-kali pula tak mampu menjawabnya. Hingga akhirnya saya harus naik ke travel, menuju Bandung. Perjalanan selalu membuat saya mampu berpikir jernih, mampu menguraikan kusutnya otak saya. Tapi tidak di perjalanan ini. Pada akhirnya saya memilih untuk menghilangkan bosan dengan menulis pesan singkat kepada sahabat saya di Malang, dan seorang sahabat saya yang sedang berada di KL untuk 'bertugas'.

Dua jam kemudian, saya sampai di Bandung. Waktu itu kakak saya langsung menjemput, jadi tak perlu menunggu lama di tanah asing. Dan saya sangat lega bertemu dengannya, karena saya tahu saya berada di tangan yang tepat. Kakak saya pun membawa saya ke tempat kosnya, di daerah Siliwangi yang padat.

Begitu tiba di tempat kosnya, saya langsung mengangguk-anggukan kepala. 'Jadi seperti ini kehidupanmu di sini, Mas.' benak saya berkata. Kamar kos itu sangat sempit, berukuran 2x2 meter, tanpa dipan, hanya kasur tipis dan karpet. Disatu sisi dindingnya penuh dengan meja dan lemari mungil. Mejanya berantakan, ada laptop, buku2. Di kolong mejanya ada masih padat dengan buku dan kertas-kertas, ada juga satu toples berisi biskuit cokelat, temannya saat mengerjakan tugas. Di sisi lain tembok kamarnya, ada setumpuk barang yang diletakkan di kardus, termasuk beberapa baju. Lalu ada magic com dan peralatan makan yang sudah di cuci. Satu-satunya pikiran yang mampir adalah, kakakku tidak pernah berubah, dia selalu sama, selalu sederhana. Salah satu alasan saya sangat menghargainya.

Dia menanyakan pada saya mau jalan-jalan kemana. Saya dengan cepat menjawab, 'ke Kawah Putih atau Tangkuban Perahu.' Dia mengernyit, lalu menjelaskan bahwa kedua tempat itu berada di daerah berbeda dengan jarak tempuh yang jauh dan memakan waktu. Satu di selatan, dan satu di utara. Akhirnya saya memilih ke Kawah Putih saja. Akhirnya saya pun menemaninya mengerjakan tugas sambil ngobrol hingga tengah  malam, sebelum akhirnya dia pindah ke kamar lain, supaya saya bisa menguasai kamarnya dengan leluasan. It is gentle, huh?!

Malam berlalu lambat, dan dingin. Menusuk hati, hingga mungkin bisa patah.

Pagi buta yang dingin itu mampu membangunkan saya, selain suara adzan yang langsung menembus tembok kamar kos yang memang menempel dengan masjid kampung. Air wudhu yang dingin langsung menusuk tulang, tapi tak cukup mampu membuat mata saya melek seratus persen. Akhirnya setelah sholat pun, saya melanjutkan tidur hingga pukul 6 pagi. Waktu itu kakak saya membangunkan saya dan mengajak jalan-jalan ke ITB, kampus kesayangannya. Saya menurut, apa salahnya menghirup udara segar di Bandung sebelum kembali pada Jakarta yang berdebu.

Jalan-jalan bersama kakak saya, membuat saya lebih mengenalnya dari yang pernah saya tahu selama ini. Ternyata dia tak pernah benar-benar belajar tentang politik kampus, tidak seperti saya yang memang beruntung bisa mempelajari itu meskipun masih dangkal. Mimpinya tentang bisnis yang sedang dikembangkannya. Kehidupan di kampusnya.

Dia membawa saya masuk ke kampus, padahal waktu itu saya hanya memakai celana training dan kaus. Tapi waktu itu kan hari sabtu, jadi saya cuek saja. Dia menjadi guide tour dadakan bagi saya. Menunjukkan gedung - gedung disekitar kami, menunjukkan titik gema buatan di ITB, menunjukkan not-not Indonesia Raya yang dibuat dari ubin di sebuah kolam hias. Dia tidak lupa menunjukkan pada saya dimana dia kuliah. Saya hanya bisa mengangguk - angguk, sejujurnya pikiran saya ada ditempat lain saat itu.

Pukul sepuluh pagi dia mengantarkan saya ke Kawah Putih, membonceng saya dengan motor pinjaman yang STNK-nya masih diurus perpanjangannya. Ditambah lagi, dia tak pernah benar-benar tahu jalan ke Kawah Putih. Jadilah kami ke Kawah Putih tanpa STNK dan tanpa pernah benar-benar tahu arahnya. Seperti yang sudah saya duga, ada razia dadakan dan kami kena tilang. Seratus ribu pun melayang. Dan berkurang pula hasrat belanja di Kota Belanja ini.

Perjalanan ke Kawah Putih sangat menyenangkan. Seperti jalanan di daerah Batu dan sekitarnya. Berkelok-kelok, memanjakan mata dengan kebun stroberinya. Bukan dingin menusuk, tapi sejuk yang menyenangkan. Saya hanya berbekal pashmina sebagai penghangat tubuh waktu itu. Berwudhu dengan air gunung yang sejuk dan melimpah siang itu, membuat saya mencintai tempat itu seketika. Dan saya berjanji, saya akan kembali lagi.

Memasuki kawasan wisata Kawah Putih ternyata tidak semulus yang saya pikir. Kami harus melalui jalanan yang tidak mulus, berkelok, sekaligus menanjak. Tapi karena saking senangnya, saya tidak mengeluh sedikitpun. Saya ingin segera sampai di puncak, lalu mengagumi.

Inilah keajaiban itu (23 Juli 2011)
Kawah Putih. Tempat yang membuat saya terdiam sejenak saking takjubnya. Hijau, biru, dan putih menjadi satu. Asap kawah yang tipis, seperti selimut yang membungkus pemandangan menakjubkan itu. Saya pun menemukan diri saya jatuh cinta sekali lagi. Jatuh cinta pada tempat itu, dan jatuh cinta pada penciptanya. Hati saya membuncah, dipenuhi rasa bersyukur. Hilang sudah kekusutan otak yang sempat mampir, bahkan saya bisa melupakan dia pada saat itu. Benar-benar lupa. Saya sedikit tidak percaya, tapi itulah adanya. Saya menemukan sedikit titik terang tentang dia akhirnya.

Saya memanfaatkan camera pocket kesayangan saya dengan maksimal, jepret sana jepret sini. Tak melewatkan satu spot pun. Kakak saya menjadi juru jepret, dia tak pernah mau diabadikan dalam memori foto. Kalaupun mau, pasti ditutup bagian wajahnya. Lucu tapi menjengkelkan juga.
Salah satu 'harta karun' di Kawah Putih (23 Juli 2011)

Lalu dia mengajak saya ke Danau Situ Patengan, yang ditengahnya ada sebuah pulau kecil yang dinamakan Pulau Cinta. Saya sangat geli dengan nama itu. Bagaimana mungkin masih ada orang yang menamakan suatu tempat dengan nama rasa hati. Tapi saya penasaran juga, bagaimana bisa dinamakan Pulau Cinta. Ternyata memang bentuknya seperti hati, dan konon jaman dahulu pulau itu menjadi tempat pertemuan sepasang kekasih yang sedang merindu. Oh my God... ternyata ada juga cerita semacam ini. 

Danau Situ Patengan dengan Pulau Cinta-nya (23 Juli 2011)
Pulau itu bisa diakses dengan menyewa sebuah perahu mesin untuk sampai ke sana. Kakak saya menawarkan untuk kesana, tapi saya menolak. Biaya sewa perahu untuk satu orang saja cukup mahal, sekitar tiga puluh ribu. Lagipula saya tidak tertarik kesana. Akhirnya kami berdiam diri di pinggir danau, menikmati kemilau air yang ditempa sinar matahari. 

Sepulang dari Situ Patengan, saya dimanjakan dengan pemandangan kebun teh yang tak berbatas. Benar-benar menyenangkan. Dan tentu saja saya tidak melewatkan kesempatan itu begitu saja, beberapa jepretan berhasil diambil. Saya puas. Kami pun kembali ke Bandung.

Kami tiba di Bandung tepat saat maghrib menjelang, Kakak saya mengajak ke Masjid Salman. Ah, masjid itu lagi. Ada perasaan rindu tak tertahankan, begitu mendengar nama masjid itu disebut. Saya masih ingat harum lantai kayunya dari pertama kali menginjak masjid ini tahun 2007 yang lalu, akhirnya pada 2011 saya kembali lagi ke tempat ini. Masih sama seperti saat pertama kali, masih menjanjikan kehangatan dan kedekatan pada Tuhan. Dan masih menjanjikan pelukan pada setiap orang yang datang. Termasuk saya.

Bersujud saat itu, seperti bercinta dengan Tuhan. Masuk ke dalam pelukannya, penuh rasa syukur.

Malam itu belum berakhir. Saya bertemu kawan lama, yang juga kawan kakak saya. Banyak kabar yang ditukar, banyak cerita yang dibagi. Dia pun mengajak kami menghabiskan malam minggu di CiWalk. Aku langsung menyetujuinya. Malam itu kami menjadi anak gaul Bandung yang nongkrong di mall hingga tengah malam. Kami duduk di pelataran mall, melihat pertunjukan musik yang hampir selesai. Dan seperti biasa, saya menikmati itu bersama kopi.

Pukul 12 tepat kami kembali ke tempat kos, kali ini aku menginap di kos kawan saya itu karena saya tidak rela ditinggal sendirian di tempat kos kakak saya yang sepi, sementara dia berencana menginap juga di tempat kawan kami itu. Akhirnya kami tidur bersama di dalam kamar yang sempit itu, dan karena saya satu-satunya perempuan di tempat itu, saya bisa menguasai tempat terhangat, yakni kasur dengan dipannya. Thanks Dude!

Keesokan harinya, kami pergi ke Sabuga. Olahraga pagi. Sungguh, dua hari itu hidup saya berasa sehat dengan olahraga rutin selama dua hari. Meskipun akhirnya rasa kantuk membuat saya tetap tertidur setelah selesai olahraga pagi itu. Padahal jam menunjukkan masih pukul 9 pagi. Keterlaluan memang, tapi masa bodohlah.

Saya harus kembali ke Jakarta pukul setengah lima hari itu, dengan kereta. Tapi sebelumnya saya ingin diantar ke Kartika Sari untuk membeli sedikit camilan untuk keluarga di Jakarta. Kakak saya bersedia mengantar. Kartika Sari pada hari minggu menurut saya adalah pasar. Banyak orang dan sangat sesak. Semua berteriak minta dilayani. Antrian kasir lebih panjang daripada antrian di bank pada hari senin. Saya terjebak di sana dengan tiga potong brownies.

Pukul setengah empat sore saya sudah ada di stasiun. Kakak saya meninggalkan saya di sana, kembali lagi ke kehidupan normalnya tanpa saya. Saya harus bersabar selama sebulan lagi, untuk bertemu dengan dia saat lebaran nanti. Yaitu saat dia kembali ke rumah.
Stasiun Bandung (24 Juli 2011)
Stasiun, bagi saya adalah rumah saya yang lain. Saya mampu menemukan kedamaian disana, sekaligus menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang saya ajukan. Kali ini saya menemukan jawaban atas pertanyaan yang saya ajukan pada hari saat saya berangkat ke Bandung. Saya memutuskan sesuatu. Titik terang yang saya temukan sebelumnya saat berada di Kawah Putih membuat saya yakin, bahwa saya memang perlu melepaskannya. Tak perlu lagi membawanya ke dalam kehidupan saya yang serba absurd itu. Karena saya tahu hidupnya begitu tertata, dan penuh kepastian, tidak seperti saya yang serba spontan dalam melakukan sesuatu. Saya bukan tak ingin bejuang, tapi saya tidak ingin berjuang demi orang yang tidak berjuang demi saya juga. Egois memang, tapi saya ingin menyelamatkan hati saya dari ketidakpastian. Saya ingin hati saya bebas.

Saya menemukan cinta yang lebih dari yang saya rasakan pada saat itu. Dia ada di sekitar saya, memeluk saya lebih erat. Melepaskan bukan berarti membiarkan pergi, tapi menyelamatkan dari sakit yang seharusnya tak perlu dirasakan. Melepaskan juga bisa berarti berdamai dengan hati.

Pada akhirnya saya memeluk cinta lagi hari itu.
March 03, 2012 No comments
aku pernah mendengar tentang bidadari, berparas ayu dan bersinar
matanya mampu menyihir siapa pun, membuat jatuh cinta setiap mata yang memandang
senyumnya mampu membuat setiap hati meleleh, rela memberikan apa pun untuknya
aku pernah mendengar tentang malaikat, yang bersayap maupun tidak
berparas teduh, seperti surga
setuhannya mengandung kelembutan surga, menjanjikan kebahagiaa abadi
tutur katanya memiliki keteduhan, menjanjikan kedamaian
sayapnya kokoh, menjanjikan perlindungan.
kadang aku iri pada mereka, iri pada pesona mereka, membuat setiap hati bertekuk lutut menginginkan cinta mereka
kadang aku ingin mendapatkan sedikit saja pancaran dari diri mereka, supaya aku memiliki keharuman yang diinginkan setiap manusia
tapi aku tahu, hati ini menolak menjadi seperti mereka. bahkan menolak menjadi salah satu diantara mereka.
aku tak ingin menjadi malaikat, karena aku akan selalu tergoda untuk pergi ke surga
tempat dimana seharusnya aku berada
aku tak ingin menjadi bidadari, karena aku akan selalu tergoda untuk terbang ke khayangan
tempat yang seharusnya ku sebut dengan rumah
aku tak ingin menjadi malaikat ataupun bidadari, karena aku tak ingin kau cemburu
aku tak ingin kau cemburu pada setiap mata yang menatapku, pada setiap hati yang menginginkanku
bagaimana bisa aku menjadi malaikat atau bidadari yang baik, jika aku sanggup membiarkanmu terbakar cemburu?
bagaimana bisa aku menjadi malaikat atau bidadari yang baik, jika aku tak sanggup pergi dari hadapanmu?
March 01, 2012 No comments
I trust you is a better compliment than I love you. Because you may not always trust the person you love, but you always love the person you Trust (anonim)
Hei, bagaimana jika aku bilang aku percaya padamu?
Apakah kau juga percaya?
Masih ingat saat kelingkin kita bertaut? Saling berjanji, saling percaya.
Masihkah kau ragu saat aku bilang aku percaya padamu?
Tidak, jangan pernah ragu. Dan jangan pernah menanyakan alasannya.
Aku tak pernah tahu alasannya, dan tidak pernah ingin mencari tahu.
Jadi percaya saja padaku, seperti aku percaya padamu.
Tak usah mencari alasan, lakukan saja.
Mimpimu, mimpiku.
Berjanjilah, untuk percaya pada mimpimu.
Lalu kau bisa mencintai mimpimu lebih dari kau mencintainya sekarang.
Lalu kau bisa mencintai seluruh dunia, dan menggenggamnya.
February 20, 2012 No comments
Hei kawan, masih ingat kita pernah berbicara tentang langkah? Saat kamu membicarakan tentang mimpimu dan saat aku tersenyum di sela-sela ceritamu.
masih ingatkah saat kita menggenggam tangan masing-masing dan melangkah bersama? Saat aku mengamit mesra lenganmu, dan saat kamu menempelkan dagumu di puncak kepalaku sementara kedua tanganmu kau masukkan ke dalam saku celana.
Masih ingatkah saat kamu merebahkan diri di pangkuanku, dan perlahan tertidur saat aku membacakan salah satu puisi tentang cinta dan kematian? Saat itu jemarimu tak sedetikmu melepaskan jemariku. Menahanku untuk tetap di sana.
Hah, sudah berapa lama sejak terakhir kali kamu membangunkanku di sela-sela tidurku yang nyenyak? Hanya untuk mendengar cerita tentang hari-harimu. Dan, sudah berapa lama sejak kita sama-sama menikmati hujan dari kaca jendela kafe sembari minum kopi dan makan cheese cake dibumbui perdebatan sengit tentang hidup?
Masih ingatkah kamu saat perlahan kau melepaskan jemarimu dari genggamanku, lalu meninggalkan spasi yang tak berbekas, kemudian melangkah.
Aku masih ingat, derap langkahmu yang semakin lama semakin tak terdengar. Punggungmu yang semakin menjauh, menjadikan dirimu tak kasat mata seiring jarak yang melebar.
Suratmu yang pertama dan terakhir, mengabarkan kau baik-baik saja, sedang menjalani mimpi katamu. Tak lupa kamu menanyakan, bagaimana kabarku dan apakah aku menangis saat kamu mulai melangkah.
Aku tersenyum membacanya, kemudian menuliskan balasan.
'Aku baik-baik saja, malaikat menjagaku dengan baik. Jangan khawatir. Dan aku juga tidak menangis saat kau melangkah. Karena aku tahu, kau akan bahagia.
Masih ingat janjiku, bahwa ketika kau menengok ke belakang kau tak akan pernah menemukan aku lagi? Aku menepatinya bukan. Itu karena aku tahu kau yakin, bahwa aku akan bahagia.
Kalau kau merindukanku, ingat saja hal-hal sederhana yang indah di sekitarmu. Aku di sana'
February 15, 2012 No comments
A heart must break... to know what will come.... (Marina K, 2008)
Entah harus istirahat, atau benar-benar patah
dan entah harus berhenti sejenak, atau berhenti sama sekali
aku tak pernah bisa memutuskan, untuk benar-benar membenci atau mencinta
hanya menuruti kata hati, sebuah keinginan kebanyakan, tanpa benar-benar tahu tentang kebutuhan
aku membutuhkan kamu untuk ku genggam tanganmu, tanpa pernah ku peluk
Karena aku tahu, memelukmu sama dengan menghancurkan
aku membutuhkan kamu untuk ku hirup aromamu, tanpa pernah ku cium
Menciummu sama dengan meremukkan dunia
Mungkin aku orang paling egois sedunia, menurutmu. Karena aku tak pernah memeluk cintamu.
Tapi pernahkah kamu sadar, ketika aku berhasil memeluk cintamu nanti, aku ingin mencium, lalu mencumbu cintamu. Aku tak ingin mencandu heroinmu, aku tak ingin meminum anggur dari gelasmu.
Jika kamu pikir, mencanduku adalah soal fisika paling rumit hingga Einstein pun tak mampu menyelesaikan. Maka mencadumu, adalah membaca Sigmud Freud yang tak pernah bisa kutamatkan.
Jangan pernah menyalahkanku, karena tak bisa memutuskan. Jangan pula menyalahkanmu, karena tak bisa menentukan.
Cukup seperti ini. Berjalan bersama, menggenggam tangan masing-masing, tanpa perlu saling menatap mata.
Cukup seperti ini. Berbicara dengan bahasa angin, berharap untuk paham.
Cukup seperti ini. Menunggu untuk tahu apa yang akan terjadi nanti.
Hanya menunggu.

February 11, 2012 No comments
Inspirasi tak perlu dicari, dia selalu ada, hanya saja kita perlu lebih peka untuk menangkapnya. (dee-2011)
tik tok .... tik tok...
berpacu dengan waktu
dug,... dug... dug... dug.... dug...
berpacu dengan kehidupan
kamu selalu ada, tak pernah kemana-mana.
tes... tes... tes....
menghitung titik-titik air yang jatuh
aku mencarimu
bukankah itu bodoh?
padahal kamu selalu ada, tak pernah kemana-mana
kamu menunggu, menungguku menoleh, lalu mendekapmu
tik tok... tik tok...
aku menemukanmu, dalam dekapanku
January 27, 2012 No comments


Mas, saya kangen sama kamu. Apa kabarmu? Sehat kah? Baik-baik saja? Makanmu teratur?
Kapan ya terakhir kita ketemu? Waktu lebaran kemarin kah? Waktu keluarga kita berkumpul?
Ternyata masih tiga bulan kita tidak bertemu, tapi saya sudah kangen setengah mati sama kamu. Kangen ngerecoki kamu.
Mas, masih ingat saat kita saling curhat berdua di kamar kamu beberapa tahun yang lalu? Waktu itu kamu cerita banyak hal sambil utak-atik komputer, sementara saya tiduran di kasur kamu, menahan kantuk sebenarnya. Waktu itu kamu mau pergi ke Bandung untuk meraih mimpi. Masih ingat apa yang kamu ceritakan ke saya waktu itu? Saya masih ingat detail-nya loh. Dan saya ingat, itu pertama kalinya kamu menceritakan rahasiamu pada saya. Padahal sebelumnya kamu ngga pernah seterbuka itu sama saya. Rasanya saya mau nangis, ketika kamu mulai terbuka sama saya tapi kamu pun akan pergi jauh dari saya pada saat bersamaan.
Tapi Mas, saya bangga sama kamu. Kamu yang selalu berusaha keras untuk meraih mimpi, kamu yang ngga pernah lelah berlari, kamu yang menahan sakit saat berlari itu. Saya bangga sama kamu. Jujur saja, kamu salah satu pendorong saya untuk terus melangkah. Dan kamu salah satu alasan saya untuk berjuang.
Saya bangga, kamu sudah sampai sejauh ini. Tanpa pernah mengeluh, tanpa pernah marah.
Tapi saya juga iri sama kamu. Kenapa? Karena rasanya Ibu lebih membanggakan kamu ketimbang saya. Memang sih kamu itu keponakan tersayang Ibu, dan selalu dibanggakan. Itu bikin saya iri setengah mati. Apalagi ketika kamu meraih nilai lebih tinggi dari saya di pelajaran matematika dan fisika yang saya benci itu. Ibu selalu bilang ke saya untuk rajin belajar seperti kamu, supaya bisa jadi juara di kelas, dan supaya bisa masuk universitas negeri. Rasanya saya pengen mukul kamu kalau kamu waktu itu.
Saya tahu, kamu orang yang langsung menangis begitu Ibu pergi. Karena saya tahu, kamu sangat mencintai Ibu, seperti kamu mencintai Mama. Dan saya tahu, kamu bakal berjanji pada diri kamu sendiri untuk menjaga saya setelah Ibu pergi, tanpa diminta oleh siapa pun. Karena saya tahu, kamu juga mencintai saya seperti kamu mencintai Alya.
Saya senang sekaligus terharu ketika kamu rela pindah kamar waktu saya mengunjungi kamu di Bandung bulan Juli lalu. Saya juga terharu kamu rela tidur di lantai yang dingin supaya saya tidur di kasur yang hangat. Dan saya percaya, bahwa kamu akan menjaga saya seumur hidupmu.
Saya juga senang ketika kencan sama kamu di Bandung, berasa kencan sama pacar sendiri (padahal saya ngga punya pacar). :D
Saya selalu merasa menang kalau jalan sama kamu. Karena saya bisa mematahkan hati banyak cewek yang suka sama kamu, tapi yang ngga pernah tahu hubungan kita. Kamu itu populer, hanya saja jarang nyadar kalau kamu sebenernya populer. :p
Mas, kamu nyadar ngga sih kalau selama ini kita bersaing? Hanya saja kita bersaing di jalan yang berbeda. Saya dan kamu memiliki mimpi yang berbeda, namun kita bersaing untuk menunjukkan siapa yang paling tepat dalam meraih mimpi kita masing-masing. Dan jujur saja, saya merasa masih ketinggalan jauh sama kamu. Dan sekali lagi, saya iri sama kamu. Tapi lihat saja nanti, saya akan buktikan ke kamu kalau mimpi saya itu tepat buat saya. Jadi jangan merasa menang dulu ya?!
Saya mencintai kamu, Mas. Kamu kakak terbaik yang saya miliki, tak akan pernah tergantikan. Kamu cowok paling ganteng setelah Ayah. Jadi, saya mempertimbangkan kamu buat jadi pendamping wisuda saya nanti, menggantikan Ibu.
Mas, janji sama saya ya... kalau kamu bisa menjalani mimpimu nanti, jangan pernah berhenti menjaga saya. Karena kamu salah satu penyangga saya.
Saya mencintai kamu, Mas.
January 20, 2012 3 comments

Duniaku luas, tapi sempit. Itu katamu.
Aku hanya tertawa, mengiyakan apa yang kau katakan. Tak mengingkari atau membantah. Karena aku pun merasa begitu.
Sayang sekali kamu tak pernah menanyakan mengapa duniaku memiliki tempat sempat itu, tempat yang seharusnya tak pernah ada di dunia yang ideal.
Tempat sempit yang tak pernah kamu miliki, hanya aku yang punya tempat sempit itu. Hanya aku.
Tempat sempit itu menyembunyikan lukaku, luka yang kau sebut berbau fisik, tapi nyatanya lebih dari sekedar fisik. Luka yang menggerogoti aku perlahan.
Kau tak pernah menanyakannya. 
Kau bilang runtuhkan tembok itu, berani mencintai setiap hal yang bisa membuat luka itu menganga lebih lebar. Hingga aku tahu dimana harus menyembuhkannya. Dimana aku bisa mencintainya dengan lebih luas.
Seperti hujan yang selalu ku benci, ku benci karena selalu membuatku sakit saat harus berhadapan dengannya. Mencintai hujan sama dengan mencintai setiap sakit yang mampir, setiap sesak yang menusuk dada.
Dan kau pun tak pernah menanyakan mengapa tembok itu masih berdiri kokoh dan mengapa hujan selalu membuatku sakit. Ah tidak, aku salah, kau pernah menanyakannya, dan aku menjawabnya dengan kata2 metafora yang bahkan tak penah kau mengerti.
Tak apa-apa, itu tak penting sekarang. Karena aku mulai berdamai dengan perbedaan, karena aku mulai berdamai dengan dunia dua dimensi yang kau miliki.
Aku harus bisa berdamai dengan semua hal, seperti katamu. Supaya aku bisa berdamai dengan kehidupan. Supaya aku bisa mengobati sayapku ketika aku jatuh dari dunia imajinasi tempatku hidup saat ini ke dunia penuh realitas tempatmu dan yang lain berada.
Ya, aku mencoba berdamai.
Pertama berdamai dengan diriku, kemudian dengan kamu. 
January 15, 2012 No comments

menikmati hujan untuk pertama kali, menikmati setiap tetes air yang mengenai wajah
satu per satu, dingin menusuk kulit hingga tulang, harum menghipnotis yang menenangkan
seperti menghapus luka, perih awalnya lalu hilang meskipun masih berbekas
seperti belajar mencintaimu, mencintai setiap luka saat tak saling memahami, mencintai setiap kesenangan yang singgah
mencintaimu seperti berdamai dengan masa lalu, berdamai dengan luka
belajar mencintaimu, belajar berdamai dengan luka
January 14, 2012 No comments
Ketika jantungku masih berdetak untukmu, apakah jantungmu juga melakukan hal yang sama?
Dug... Dug... Dug... kau dengar? Dia masih berdetak untukmu
Aku menghitungnya, sekitar 80 denyut per menit. Mungkin bisa mencapai 100 denyut ketika kau ada di dekatku.
Dug.. Dug.. Dug.. Dug... kau masih mendengarnya? Dia berdetak untukmu.

Jantungku masih berdetak untukmu.
Dug... Dug... Dug... Dug...

*masih menunggu sebuah harapan, dan berharap jantung ini masih berdetak ketika harapan itu tak pernah datang.
January 12, 2012 No comments

Masih ingat, tulisanmu tentang saya beberapa waktu yang lalu? Tulisan yang indah dan jujur saja membuat saya sangat terharu. Membuat saya beruntung memiliki sahabat seperti dirimu.
Sekarang, saya pun ingin menulis tentangmu. Dan, tentu saja tentang kita.

Saya tak akan menuliskan lagi bagaimana kita bertemu, atau bagaimana kita menjadi dekat. Kamu sudah menuliskannya, lagi pula itu menjadi tak penting untuk saat ini. Yang penting adalah, kita pada waktu ini.
Kamu tahu, tung, apa arti kamu bagi saya? Kamu itu pelangi bagi saya.

Kamu yang dengan sabarnya mendengarkan setiap keluh kesah saya, setiap kebahagian saya, dan setiap kemarahan saya. Saya begitu kagum dengan kemampuanmu mendengar dan kemampuanmu merangkai kata untuk menimpali setiap ocehan saya. Saya yakin, kamu masih ingat betul setiap detail cerita yang saya sampaikan ke kamu hingga saat ini. Terima kasih karena telah mendengarkan.

Kamu yang dengan sabarnya, tak pernah lelah mengingatkan saya bahwa cinta itu ada. Bahwa cinta itu harus dinikmati, bahwa cinta itu anugerah. Saya masih ingat betul ketika kamu sangat geram setiap kali saya bertanya tentang alasan mencintai dan dicintai. Saya juga masih ingat ketika kamu menggelengkan kepala berkali-kali saat saya dengan skeptisnya menolak rasa cinta yang datang dari seorang laki-laki, hanya karena saya takut terluka lagi. Sebenarnya lucu sekali melihatmu yang berusaha mati-matian meyakinkanku bahwa aku layak mendapatkan cinta dan sesungguhnya tak perlu alasan untuk mencintai.

"Setiap pertanyaan itu belum tentu perlu dijawab, karena memang sudah ada jawabannya, dan memang tak perlu dipertanyakan"
"Semua hal itu tak selalu memiliki alasan"
Itu yang selalu kamu katakan pada saya. Saya mengingatnya dengan baik dan berusaha meyakininya. Kamu masih sabar menunggu kan?

Kamu yang selalu ceria di hadapan saya, tanpa kamu sadari semangatmu itu selalu menular pada saya. Kamu yang selalu memiliki pikiran positif, sedikit banyak mempengaruhi pemikirian saya juga. Kamu yang selalu tulus dalam melakukan setiap hal, mengingatkan saya akan Tuhan yang juga selalu tulus mendampingi setiap makhluknya. Bagi saya, kamu memiliki perilaku Tuhan itu.

Kamu yang sedikit banyak selalu sepemikiran dengan saya tentang kehidupan kampus, tentang politik yang berseliweran di sekeliling kita. Kita selalu berpendapat bahwa jangan terlalu serius menanggapi politik kampus, daripada merasakan sakit hati yang tidak jelas. Saya masih meyakini itu loh, Tung.

Terima kasih telah menjadi fans atas karya yang mulai saya bangun. Terima kasih atas kritikan yang kamu berikan pada setiap karya yang saya buat. Terima kasih telah setia menunggu karya-karya saya. Terima kasih telah mendukung langkah yang saya ambil tentang karya saya, saya kagum atas dukungan kamu yang tak pernah berhenti dan tak pernah lelah.

Dan yang paling penting, terima kasih telah memahami dunia saya. Sekali lagi, saya beruntung memiliki kamu. Kamu yang mau mampir di dunia saya, ketika orang lain tak ingin mampir atau hanya sekedar menengok. Kamu yang mau merasakan dunia saya ketika saya sendiri pun tak yakin dengan apa yang saya pilih. Terima kasih telah meyakinkan saya bahwa dunia yang saya pilih tidak salah.

Kamu pelangi bagi saya, Tung. Warna bagi dunia saya yang selalu saya bilang hanya ada hitam dan putih saja. Kamu pelangi bagi saya, dan akan selalu menjadi pelangi.
January 11, 2012 No comments
"Bagimu aku adalah pendosa, yang meminum arak kehidupan dan mabuk akan puisi cinta"

Kau dan aku, memiliki dunia yang tak sama, meskipun bernafas dengan udara yang sama. Lagi-lagi tentang dunia, dunia yang cukup menjadi alasan bagiku untuk menilai bahwa kita berbeda.
Kau, dengan dunia para orang suci, menjauhi arak kehidupan dan menghindari puisi cinta. Aku, dengan dunia para pendosa, yang meminum arak kehidupan dan mabuk akan puisi cinta.
Duniamu memainkan peran dalam dunia warna kepentingan yang tak pernah ingin ku injak, hanya karena aku takut kehilangan rasionalitas dan rasa dalam jiwa. Duniaku memainkan peran dalam kehidupan warna warni duniawi, menyuguhkan segala macam asa dan penghiburan bagi pesakitan, menyuguhkan luka tanpa harus berbohong.

Aku mencoba bersahabat dengan duniamu, masuk ke dalamnya, namun tak terlalu dalam. Aku ingin tahu, aku ingin merasakan, dan aku ingin memahami, hingga aku bisa memandang segala hal dari sudut pandang yang berbeda. Tak menghakimi dan tak memaki. Aku bersahabat dengan para orang suci, hingga akhirnya aku terluka sendiri.
Hanya sebuah alasan sepele, namun entah mengapa membuatku begitu terluka. Aku merasa seperti orang asing dalam dunia yang mulai ku kenal dan ingin kujajaki. Aku mendapati kalian memiliki karakter yang sama dengan para pendosa, dimana kalian juga mabuk, hanya saja kalian begitu rapi menutupinya. Aku terluka ketika mendapati kalian 'menghujat' orang-orang yang menjadi lawan dalam lapangan permainan kalian. Aku kehilangan eksistensi makna orang suci yang selalu diagung-agungkan.

Aku merasa terasing, hingga akhirnya aku bersimpuh dengan darah dari luka yang aku timbulkan sendiri.

Aku melakukan penghakiman yang seharusnya tak pernah ku lakukan, dan aku menyesal melakukannya. Tapi tolong, tengoklah mengapa aku melakukan penghakiman itu? Mengapa aku berbalik menjauh? dan mengapa aku merasa terasing kemudian pergi?

Aku mengagumi kalian yang mampu mencintai tanpa dosa. Aku mengagumi perilaku kalian yang selalu jauh dari dosa. Mengagumi setiap tujuan mulia dalam setiap langkah yang kalian tapaki. Mengagumi setiap hasil atas perjuangan kalian. Tapi, ah, ternyata kalian juga manusia biasa, seperti aku. Hanya saja aku begitu muak dengan topeng yang kalian kenakan, dimana kalian menyembunyikan kemabukan tingkat tinggi daripada pendosa seperti kami. Dan kalian menyebut kejujuran cinta kami sebagai bagian dari zina yang tak pernah ingin kalian sentuh. Aku menemukan setiap langkah kalian berdasarkan pada tujuan atas identitas yang melekat, dan sering kali aku berpikir tidakkah kalian bisa melangkah dengan tujuan yang ikhlas tanpa identitas yang ada, melangkah sebagai makhluk Tuhan? Karena identitas yang melekat mengaburkan segala tujuan mulia itu bagi kami, para pendosa.

Aku memaknai cinta sebagai sesuatu yang diberikan tanpa syarat, dilakukan dengan tulus dan ikhlas, dan mampu berkorban. Aku memaknai cinta tanpa dosa sebagai sesuatu yang sakral dan tak pernah ada nafsu dan zina didalamnya. Oleh karena itu aku dan para pendosa mampu memilah antara keinginan untuk memiliki dan keinginan untuk memberi, bersikap jujur adalah salah satu cara kami untuk membedakan kedua hal itu. Aku menikmati setiap cinta yang ku berikan pada sahabat-sahabatku, memberikan segala yang aku miliki kepada mereka tanpa syarat, dan tanpa prasangka.

Aku dan kalian memiliki Tuhan yang sama dan menyembah dengan cara yang sama. Mungkin yang membedakan adalah cara aku dan kalian dalam mencintai Tuhan. Aku mencintai Tuhan dengan cara mencinta sesama dengan jujur, melangkah di jalannya dengan jujur, dan mencapai tujuannya tanpa identitas yang mengikat, hanya aku, sebagai makhluk Tuhan. 

Aku mencintai kalian, hingga aku tak peduli jika dianggap sebagai pendosa. Dan aku tak lagi peduli jika kalian menjauh, atau mungkin aku yang akan pergi sebelum terusir dari dunia kalian. Aku masih mencintai kalian, berharap mampu memahami mengapa aku bersikap begitu defensif terhadap kalian akhir-akhir ini. Aku tak meminta kalian memasuki duniaku, tak juga meminta kalian menengoknya. Aku masih ingin terus menghormati dan menghargai yang kalian pilih, hingga aku tak lagi bernafas. Aku masih ingin mencintai kalian, hingga tubuhku hancur bersama tanah. 


January 06, 2012 No comments
Newer Posts
Older Posts

About me




a wanderer, in a past time and to the future
a reader, who suddenly stop to laughing or crying
once an editor, who loves to read so much


Blog Archive

  • ►  2018 (4)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2017 (8)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (1)
    • ►  March (1)
  • ►  2016 (8)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  September (1)
    • ►  July (2)
    • ►  March (1)
  • ►  2015 (3)
    • ►  November (2)
    • ►  June (1)
  • ►  2014 (20)
    • ►  October (1)
    • ►  September (2)
    • ►  August (3)
    • ►  June (1)
    • ►  May (2)
    • ►  April (4)
    • ►  March (3)
    • ►  February (3)
    • ►  January (1)
  • ►  2013 (29)
    • ►  December (4)
    • ►  November (4)
    • ►  October (1)
    • ►  September (2)
    • ►  July (1)
    • ►  June (3)
    • ►  May (3)
    • ►  March (6)
    • ►  February (1)
    • ►  January (4)
  • ▼  2012 (41)
    • ▼  December (4)
      • Writer's Block!
      • Tidak Pernah Jauh
      • Masih Tentang Perjalanan
      • Gelisah
    • ►  October (3)
      • Jujur
      • Aku Tidak Sedang Berkhianat Bukan?
      • Tanpa Aku
    • ►  September (4)
      • Sejauh Mana Batasku?
      • Menuliskan Mimpi
      • Selamat Ulang Tahun
      • Kepada Senja
    • ►  August (3)
      • Jatuh Cinta
      • Aku, Kamu, Teh, Perjalanan. Kita.
      • Tentang Mimpi (Lagi)
    • ►  July (4)
      • One Day: Jalan Memutar
      • Pena Mimpi
      • Ruang Patah
      • Percaya
    • ►  May (6)
      • My Proud
      • Untukmu Aku Rela Meletakkan Beberapa Mimpiku
      • Mimpi Ayah
      • Saya Rindu
      • Adelaide Sky
      • Kepada Teman Kencan
    • ►  March (6)
      • Secangkir Kopi Dingin
      • Hangat
      • Dear Tuhan
      • Apa Kabar, Hujanku?
      • Memeluk Cinta (Jakarta - Bandung - Jakarta)
      • (Not) An Angel
    • ►  February (3)
      • Believe in You, Believe in Me
      • Langkah
      • (Bukan) Sederhana
    • ►  January (8)
      • Inspirasi
      • Pesaing-ku (Quota Alief Sias)
      • Berdamai Denganmu
      • Mencintai Hujan
      • Detak
      • Pelangi (Primadiana Yunita, @nitanitung)
      • Pendosa
  • ►  2011 (42)
    • ►  December (13)
    • ►  November (5)
    • ►  September (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (2)
    • ►  March (4)
    • ►  February (3)
    • ►  January (8)
  • ►  2010 (12)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  August (1)
    • ►  April (4)
    • ►  January (2)
  • ►  2009 (10)
    • ►  July (1)
    • ►  May (9)
  • ►  2008 (4)
    • ►  September (1)
    • ►  July (3)

Pageviews

Cuap-Cuap

Tweets by SevyKusdianita

Created with by ThemeXpose