Linkedin Instagram

Pages

  • Home
  • About
  • Contact

SEVY KUSDIANITA

let me tell you a story, about you and me falling in love deeply

Judul : The Dog Who Dared to Dream
Penulis : Hwang Sun Mi
Penerbit : Little Brown, UK



"Pada suatu masa di sebuah tempat yang selalu dipenuhi salju saat musim dingin, hiduplah seekor anjing kecil yang punya mimpi-mimpi sederhana"

Awalnya saya kira buku ini akan diawali dengan kalimat tersebut. Tetapi teriakan dan keluhan seorang lelaki tua justru menjadi bagian dari bab pembukanya. Kemudian mengalirlah cerita tentang lelaki tua itu dan Scraggly, peliharaannya.

Scraggly, seekor anjing kecil yang lahir berbeda dari saudara-saudaranya. Berbulu gelap, nyaris hitam, berbadan kecil yang termasuk ringkih. Belakangan saya tahu, bulunya berpendar biru apabila terkena pancaran sinar rembulan. Menjadikannya istimewa.

Scraggly hidup bersama keluarga Kakek Screecher, di sebuah desa di daerah pegunungan Korea yang diselimuti salju pada musim dingin. Musim dingin berbuat sesuatu pada mereka, membuat Scraggly memiliki mimpi-mimpi sederhana yang menurut Kucing Tua tidak patut dimiliki seekor anjing.

Musim dingin pertama Scraggly merenggut nyawa adik bungsunya karena ulah si Kucing Tua. Scraggly memahami rantai yang menahan leher ibunya, membuatnya kehilangan si bungsu karena terlambat diselamatkan. Kemudian musim dingin juga merenggut ibu dan saudaranya yang lain karena ulah pencuri yang memasuki rumah Kakek Screecher. Scraggly belajar bahwa makanan yang diberikan orang asing, harus diwaspadai, lalu dia juga menyesal tidak mampu menggigit dengan kuat si pencuri untuk menyelamatkan saudara-saudara dan ibunya.

Memasuki berikutnya, Scraggly hampir mati karena anjing liar di lingkungan mereka. Namun musim dingin itu pula Scraggly bertemu si Putih, hingga akhirnya dia melahirkan anak-anaknya sendiri. Scraggly pun memiliki mimpi sederhana, ia ingin hidup bersama anak-anaknya. Tetapi ternyata musim dingin selanjutnya dia harus dipisahkan dari anaknya, Scraggly tidak punya pilihan. Tregedi demi tragedi terjadi, di musim dingin. Scraggly menumbuhkan mimpinya, tetapi juga tak bisa berbuat apa-apa ketika mimpinya hancur.

Saya tidak terlalu paham mengapa penulisnya memilih musim dingin sebagai momentum penting dalam kehidupan Scraggly. Apakah musim dingin yang menggigit dimaksudkan untuk menambah suasana sedih dan terluka yang dialami oleh Scraggly, atau musim dingin yang putih memang cocok untuk menggambarkan kontras warna antara Scraggly dan salju? Tetapi yang jelas musim dingin yang digunakan untuk latar cerita mampu membuat saya setiap tragedi yang dialami Scraggly dengan nyata, juga merasakan kehangatan ketika Scraggly mendapatkan sup atau makanan hangat untuk perutnya termasuk perasaan hangat ketika si Kucing Tua ternyata menjadi sahabat terbaik Scraggly meskipun selalu bermulut pedas.

Penulisnya pun menggunakan kata ganti 'Who' untuk Scraggly pada judulnya. Menunjukkan bahwa Scraggly bukan hanya sebuah benda, tetapi 'memanusiakan' Scraggly. Sehingga mimpi-mimpi dan perasaan yang dimiliki Scraggly terasa sangat wajar. Hal ini membuat pembaca menjadi gampang tersentuh pada setiap peristiwa yang dialami oleh Scraggly. Tentu saja ini bisa jadi pendukung untuk gerakan animal welfare. Bahwa hewan adalah makhluk hidup yang juga layak mendapatkan kesejahteraan, terhindar dari kekerasan, dan tidak boleh diperlakukan sebagai sebuah obyek. Meskipun penggambaran hubungan Kakek Schreecher dan Scraggly masih berubah-ubah. Kakek Screecher menganggap Scraggly sebagai obyek dan subyek pada saat bersamaan. Bukan hal buruk, justru hal ini sangat wajar karena manusia pun saat ini tidak ada yang benar-benar menganggap hewan sebagai subyek yang memiliki kebutuhan 'setara' dengan manusia.

Tidak ada plot klimaks menurut saya, penulisnya menceritakan kehidupan Scraggly secara wajar. Kakek Screecher bertambah usia, Scraggly pun bertambah usia. Kakek Screecher tak bisa lagi memberikan perhatian utuh, Scraggly pun terabaikan secara wajar. Kakek Screecher kehilangan masa-masa indah hidupnya, Scraggly pun kehilangan semua yang pernah dimilikinya. Wajar. Tanpa dramatisir.

Buku ini salah satu yang membuat saya menghela napas panjang setelah selesai membacanya. Alur cerita yang sederhana dan sangat wajar justru membuat saya memikirkan banyak hal yang pernah terjadi dalam hidup. Salah satu buku yang menggelitik saya, menyadarkan bahwa hal sederhana bisa menjadi istimewa apabila diceritakan dengan baik. Buku ini juga meyakinkan saya bahwa saya bersyukur telah mengadopsi hewan, meskipun hanya satu ekor. Menyediakan rumah dan makanan yang cukup bagi hewan ini, membuat hati saya penuh. Semoga Scraggly-Scraggly di luar sana bisa merasakah kehangatan hati yang sama seperti kucing saya di rumah.
December 17, 2017 No comments
Keluarga terdiri dari rasa percaya. Percaya bahwa bisa berjalan bersama. Percaya bahwa bisa melewati semua tantangan.


Ketika ayah memutuskan menikah lagi setelah ibu tiada, saya memang mengiyakan dan merestui. Tetapi ada ragu yang masih terselip ditengah doa yang sedang saya rapal. Ada pertanyaan-pertanyaan penuh kekhawatiran. Apakah si calon istri adalah orang baik? Apakah sanggup menjadi sosok ibu? Apakah bisa mendampingi adik saya untuk tumbuh? Dan banyak pertanyaan lainnya.
Let's see, itulah kalimat yang saya ucapkan untuk diri sendiri supaya pertanyaan-pertanyaan itu teredam. Ya, saya hanya perlu melihat bagaimana peran itu dijalankan. Satu hal yang saya pegang, saya percaya pada ayah. Sudah itu saja.
Empat tahun pernikahan mereka, tentu saja ada masalah yang menghadang. Saya tak ambil pusing, karena keluarga kami demokratis. Masalah yang ada bisa terselesaikan. Adik saya yang beranjak dewasa pun lebih banyak tak ambil pusing juga, dia masih bergantung pada kakak perempuannya dan ayahnya. Saya tahu adik saya belum sepenuhnya percaya pada sosok baru dalam keluarga kami.
Menurut saya, beliau perempuan yang sangat baik, kuat, dan cantik. Baik karena mampu menerima kami sebagai anaknya juga (dia memiliki tiga anak lelaki dari pernikahan sebelumnya). Kuat karena dia pernah mengalami kehilangan yang hebat sehingga belajar berdamai dengan kehilangan itu. Cantik, setiap perempuan cantik dengan caranya sendiri, begitu pula perempuan yang kini saya panggil Mama itu.
Kami masih dalam proses membina saling percaya, dalam arti kami mencoba untuk percaya bahwa tidak akan menyakiti satu sama lain. Proses itu panjang, seumur hidup. Tapi saya tahu kami sudah dalam tahap untuk percaya.
Terima kasih, Mama. Sudah bersedia mendampingi ayah, karena itu yang paling penting bagi kami saat ini.

November 01, 2017 No comments
Lagi-lagi saya menemukan diri saya menulis ketika sedang hancur. Ketika luka lama yang saya kubur rapat-rapat menganga seenaknya. Menganggu konsentrasi saya, membuat saya selalu ingin bersandar pada seseorang. Tentu saja saya mengutuk diri saya sendiri ketika merasa selemah ini.
Saya kembali menyalahkan hujan karena hal ini. 
Saya benci hujan. Saya membencinya bukan tanpa alasan. Meskipun saya menyugesti diri saya untuk berkata bahwa hujan itu rahmat, tetapi tetap saja saya terluka ketika hujan dan saya menemukan diri saya menyalahkan rahmat Tuhan itu. Sungguh hina.

Pertama, saya mendapatkan berita buruk tentang kanker ketika langit Surabaya sedang mendung delapan tahun yang lalu. Ibu saya divonis bahwa hidupnya tidak lama lagi, bahwa kanker akan merenggut satu-satunya manusia yang menjadi sandaran hidup saya. Meskipun saya memasang wajah tegar dan datar dihadapan orang tua saya waktu itu, di dalam mobil travel menuju Malang saya menangis. Di luar hujan turun sangat deras, meredam suara isakan saya.

Kedua, didalam mobil ambulans yang menggaungkan sirine saya mendampingi jenazah ibu saya. Di luar mobil hujan deras mengetuk-ngetuk. Saya tidak bisa menangis, tidak satu tetes pun.
Mobil ambulans dan hujan sukses membuat saya sesak napas sampai sekarang.

Jadi, kamu masih bilang saya drama karena hujan? IYA! Saya mendrama, melodrama.
September 27, 2017 No comments


Salah satu langkah, menuju mimpi-mimpi yang lain. Yang saya tahu, doa-doa orang tua saya sedang di-ijabah.

Saya memiliki mimpi menjadi editor setelah membaca hal-hal yang dibagi Windy Ariestanty, former Editor in Chief di Gagas Media dan Bukune, tentang editor dan pekerjaan editing. Windy juga yang mengenalkan saya pada sosok Mula Harahap dan impian-impiannya untuk literasi Indonesia.

Membuktikan sendiri perkataan Windy tentang masih awamnya profesi ini di sekitar, saya pun dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan tentang pilihan profesi ini. "Editor? Apa itu?" atau "Yang kerjaannya ngedit typo?" atau "Jauh-jauh S2, kerja jadi editor? ngedit kesalahan cetak?" dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Saya sih cuma ketawa mendengarnya. Kalau lagi baik, saya menjelaskan. Tetapi kalau lagi malas, saya cuma berlalu.

Bagi orang lain, pekerjaan editor adalah pekerjaan sepele. Tetapi saya menganggap profesi ini keren. Bagaimana tidak keren? Jika nasib sebuah naskah dan mungkin juga penulis ada di tanganmu. Tanggung jawab besar, beban moral besar. Menjadi editor, menjadi yang dibalik layar. Kata Windy, editor adalah yang pertama bertepuk tangan ketika sebuah naskah selesai ditulis dan menjadi yang pertama bersedih ketika kemampuan menulismu tidak mengalami perbaikan. Kalau boleh saya tambahkan, editor juga akan menjadi orang pertama yang senang ketika bukumu laris di pasar, dan akan menjadi orang pertama yang sedih ketika bukumu tidak diminati.

Sebuah buku selalu ada campur tangan editor, jadi ketika buku tidak diminati maka tak jarang editor juga merasa gagal. Ini hal yang saya takutkan. Meskipun kita harus tahu rasanya gagal, tetapi saya masih takut ketika harus menghadapi hal itu. Karena itu bagi saya rasa saling percaya yang tinggi antara editor dan penulis menjadi faktor penting. Mereka harus saling menguatkan ketika jatuh, dan mungkin bisa menari bersama ketika berhasil.

Saya banyak belajar dari penulis-penulis yang saya temui beberapa bulan pertama ini. Dari mereka saya belajar tentang proses yang panjang dan panjang. Dari mereka juga saya meningkatkan kualitas diri dan kemampuan.

Menyesalkan? Tidak. Saya masih ingin jadi editor untuk beberapa tahun ke depan. Mungkin tahun ini saya berada di tempat yang sekarang, tetapi tidak menutup kemungkinan saya akan berpindah. Meningkatkan kemampuan diri, meningkatkan kualitas diri. Bukankah manusia perlu berpindah agar bisa meningkatkan kualitas?

Saya sedang menikmati hidup. Saya sedang bahagia.




September 19, 2017 No comments

Naskah ini sudah seperti anakku juga, jadi apapun itu jika untuk kebaikannya lakukan saja - (Senin, 28 Agustus 2017, 5:24 PM)

Hari ini salah satu penulis yang saya dampingi menyelesaikan naskahnya. Setelah dua bulan lebih berkutat dengan saya yang selalu menuntut untuk lebih baik dan lebih detail. Menghadapi segala keriwilan masing-masing dan tak jarang berbeda pendapat. Naskahnya saya nyatakan lolos hari ini.

Saya paham dia mengerjakan naskah ini bertahun-tahun jauh sebelum bertemu saya. Berkali-kali mengatakan bahwa dia jenuh, dan berkali-kali saya katakan pula bahwa tinggal selangkah lagi agar naskah ini bisa dinikmati pembaca yang lebih luas. Tidak seperti penulis lain yang berhadapan dengan saya, yang membawa revisi naskahnya secara utuh. Dia membawakan setiap revisi dalam potongan-potongan bab, membuat saya lebih detail memperhatikan tokoh maupun plot. Bakhan lebih detail dalam beragumen. Membuat saya terikat lebih dalam dengan cerita yang ditulisnya. Membuat saya juga menjadi pemilik dari cerita yang ditulisnya. Membuat ikatan emosional yang jauh lebih erat saya rasakan, bahkan dia sendiri mungkin tidak merasakannya. He's a great story teller. He did a great job.

Hari ini saya menyatakan lolos untuk naskahnya, membawanya ke tahap lanjutan untuk dipoles lebih baik dengan perbaikan ejaan ataupun tanda baca, lalu dipercantik dengan tata letak dan sampul. Hari ini saya melepas satu lagi anak saya. Meskipun si penulis akan membuat sekuel dari cerita ini, tetapi saya tidak tahu kapan saya bisa bertemu lagi dengan cerita ini. Bahkan saya tidak tahu apakah saya masih mampu mendampingi cerita itu, mendampingi kembali si penulis yang saya tahu akan menjadi besar.

Berkali-kali saya yakinkan diri, bahwa saya mampu mendampinginya lagi. Tapi saya pun berkali-kali meyakinkan diri bahwa suatu saat mungkin cerita ini akan lepas dari saya. Bertemu dengan orang-orang yang lebih baik, yang membuatnya lebih besar dan lebih bermanfaat. Ketika saat itu datang, saya harus siap untuk melepaskannya. Tidak, bukan hanya harus siap tetapi saya harus yakin untuk melepaskannya.

Cerita ini menjadi petualangan menantang bagi saya yang baru memulai, menjadi pembelajaran besar untuk tumbuh lebih baik, dan menjadi ikatan yang entah seerat apa nantinya. Sama seperti orangtua lainnya, saya ingin anak saya tumbuh lebih baik. Tidak hanya dinikmati sebagai bacaan menghibur, tetapi juga menjadi cerminan diri untuk lebih baik, menjadi inspirasi untuk melakukan kebaikan. 

Hey you, thanks for the adventure. see you (again)!
August 28, 2017 No comments



Saya jarang mengulas tentang film. Mungkin bahkan tidak pernah selama beberapa tahun terakhir. Kali ini saya membagikan pengalaman menonton Genius. Colin Firth, Jude Law, dan Nicole Kidman masih menjadi aktor dan aktris favorit. Saya jatuh cinta pada akting Colin Firth ketika dia membintangi serial Pride and Prejudice versi BBC, sampai saat ini saya selalu menikmati dengan baik aktingnya di beberapa film. Di film Genius pun Colin Firth juga memukau saya dengan karakternya sebagai Maxwell Perkins, seorang editor yang menemukan Hemingway, Fitzgerald, dan Wolfe.
Film ini sudah saya lirik sejak akhir tahun lalu, hanya saja saya masih ragu menontonnya. Hingga kemaren seorang penulis sekaligus teman saya merekomendasikan film ini setelah saya berujar sesuatu kepadanya tentang pekerjaan saya. Saya pun menonton film ini.
Patah hati. Perasaan yang pertama kali muncul dalam diri saya. Wajar saja, karena saya merelasikan alur cerita dengan kehidupan nyata. Sama seperti Perkins, saya seorang editor meskipun masih seumur jagung. Saya tidak bisa membandingkan pencapaian Perkins dengan apa yang baru saya mulai dalam kehidupan saya. Tetapi saya bisa merelasikan bagaimana Perkins patah hati ketika penulis-penulisnya tidak mampu lagi menuliskan satu kalimat pun. Atau ketika penulisnya terlalu jumawa dengan nama besar yang berhasil dicapai.
Perkins selalu bisa menemukan batu yang dia percaya akan bersinar. Dia memoles batu itu, hingga menjadi permata. Kadang Perkins sadar permata itu akan berpindah tangan, tetapi kadang dia juga naif bahwa permata itu akan selalu berada di genggamannya. Saya akui bahwa saya pun pernah sangat naif. Percaya bahwa seseorang yang saya temani ketika berada di masa sulit, akan ada bersama saya ketika dia sudah menjadi besar. Kenyataannya berbalik 180 derajat dari yang saya percaya. Karena itu saya pun patah hati.
Pekerjaan editor hanyalah menemani proses penulis untuk sebuah buku. Menyediakan sarana dan sedikit polesan untuk diantarkan kepada pembaca. Seperti kata Perkins, buku akan selalu menjadi milik penulis, editor hanya bertugas mengantarkannya kepada pembaca. Editor tidak perlu kredit untuk setiap proses kreatif penulis, pembaca yang mengulas dengan baik dan mengkritik dengan kritis sudah cukup.  Jauh sebelum saya memahami ini, sepertinya saya telah belajar tentang hal ini. Menemani seseorang hingga sampai puncak lalu berdiri dibawah sambil tersenyum puas, tak peduli jika ia tak memperhatikan kalau saya telah berbalik pergi.
Saya masih perlu banyak belajar untuk melepaskan. Seperti Perkins yang merelakan Fitzgerald untuk tidak menuliskan kata-kata lagi. Atau seperti ketika Perkins merelakan Wolfe pergi untuk selamanya ketika ia sedang berada di puncak.
Tampaknya saya menemukan padanan kata baru untuk editor. Editor sama dengan melepaskan.
July 30, 2017 No comments
Entah sudah berapa banyak saya berbicara tentang mimpi. Rasanya sejak saya memiliki halaman blog ini saya sudah membicarakan tentang mimpi. Saya ini pemimpi, bahkan bapak saya pernah bilang 'kamu kebanyakan mimpi'. Ah iya, saya memang kebanyakan mimpi.

Saya pernah bermimpi pergi keliling dunia. Taukah bagaimana saya mewujudkannya? Saya mengajukan permohonan paspor tanpa saya tahu kapan atau ke mana saya pergi berkeliling dunia. Orang bilang, saya impulsif. Tapi saya bilang, saya sedang berdoa untuk terwujudnya mimpi saya. Tahukah apa yang terjadi? Setahun setengah dari pembuatan paspor itu, saya benar-benar pergi keluar negeri. Bahkan saya pergi ke tiga negara pada tahun yang sama. Pada tahun-tahun berikutnya saya masih punya mimpi keliling dunia.

Saya pernah bermimpi untuk menulis seumur hidup saya, atau lebih tepatnya menjadi bagian dari proses kreatif sebuah buku. Orang bilang menulis itu tidak banyak penghasilan, tidak punya jadwal gajian yang tetap, dan kerjanya selalu berkhayal. Saya sempat berhenti untuk mewujudkannya, mencoba menjadi 'normal' dengan mengejar karir kantoran dengan gaji tinggi dan tetap. Tetapi ternyata saya tidak menikmatinya. Saya pun kembali lagi impulsif, bekerja di bidang kreatif dengan gaji yang cukup untuk bayar kosan. Menyesal? Saat ini belum, saya masih dalam tahap sedang senang-senangnya. Bakal menyesal? Ngga tahu, belum kelihatan.

Masih punya mimpi? Masih. Banyak pula.
Saya masih ingin terus jadi pemimpi, hidup dalam mimpi, dan menikmati mimpi. Biar apa? Biar saya bahagia.
June 08, 2017 No comments
Tolong saya. Ini yang pertama kali saya ucapkan dalam hati ketika mengalami hal yang benar-benar mengguncang saya kemaren. Tolong saya. Tolong saya.
Sudah lama saya memiliki krisis kepercayaan, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Saya tidak nyaman jika harus terlalu percaya pada orang, bahkan saya tidak nyaman jika orang lain menaruh kepercayaan pada saya. Tidak hanya orang lain, bahkan saya tidak nyaman ketika hewan peliharaan menaruh rasa percaya yang besar pada saya.
Ada banyak hal terjadi di masa lalu yang membuat saya menjadi seperti ini. Ya, seperti yang sudah banyak diduga. Kesalahan satu orang pada saya membuat saya menarik kesimpulan. Saya tahu kesimpulan ini salah. Tetapi wajar jika saya tidak ingin mengulangi kesalahan itu.
Banyak hal yang terjadi karena hal ini. Mungkin orang membenci saya, karena mereka merasa tidak dibutuhkan atau tidak dipercaya. 
Saya mencoba mengatasi hal ini dengan mengadopsi satu hewan untuk membantu saya. Kali ini pun saya menghancurkan sendiri usaha saya karena hal-hal yang saya takutkan bisa terjadi. Mengembalikan hewan yang saya adopsi memang bukan hal yang benar, saya menghancurkan komitmen yang saya buat dengan lembaga adopsi tersebut. Saya sadar bahwa saya akan dihujat oleh aktivis animal welfare manapun. Saya sejujurnya tidak takut dihujat. Saya lebih takut hewan tersebut tidak mendapatkan kasih sayang optimal dari saya. Saya lebih takut dia merasa dibuang oleh saya, meskipun secara fisik dia bersama saya. Saya lebih takut pada sorot mata hewan daripada tatapan penuh hujat dari manusia. Oleh karena itu saya kembalikan hewan tersebut pada orang yang lebih baik daripada saya.
Tolong saya. Tolong saya. Saya tidak tahu pertolongan apa yang saya butuhkan. Tolong saya.
March 07, 2017 No comments
Newer Posts
Older Posts

About me




a wanderer, in a past time and to the future
a reader, who suddenly stop to laughing or crying
once an editor, who loves to read so much


Blog Archive

  • ►  2018 (4)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  January (1)
  • ▼  2017 (8)
    • ▼  December (1)
      • The Dog Who Dared To Dream
    • ►  November (1)
      • What is Family?
    • ►  September (2)
      • Hujan
      • A Step
    • ►  August (1)
      • EMOSIONAL
    • ►  July (1)
      • Genius
    • ►  June (1)
      • Mimpi
    • ►  March (1)
      • Tolong Saya!
  • ►  2016 (8)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  September (1)
    • ►  July (2)
    • ►  March (1)
  • ►  2015 (3)
    • ►  November (2)
    • ►  June (1)
  • ►  2014 (20)
    • ►  October (1)
    • ►  September (2)
    • ►  August (3)
    • ►  June (1)
    • ►  May (2)
    • ►  April (4)
    • ►  March (3)
    • ►  February (3)
    • ►  January (1)
  • ►  2013 (29)
    • ►  December (4)
    • ►  November (4)
    • ►  October (1)
    • ►  September (2)
    • ►  July (1)
    • ►  June (3)
    • ►  May (3)
    • ►  March (6)
    • ►  February (1)
    • ►  January (4)
  • ►  2012 (41)
    • ►  December (4)
    • ►  October (3)
    • ►  September (4)
    • ►  August (3)
    • ►  July (4)
    • ►  May (6)
    • ►  March (6)
    • ►  February (3)
    • ►  January (8)
  • ►  2011 (42)
    • ►  December (13)
    • ►  November (5)
    • ►  September (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (2)
    • ►  March (4)
    • ►  February (3)
    • ►  January (8)
  • ►  2010 (12)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  August (1)
    • ►  April (4)
    • ►  January (2)
  • ►  2009 (10)
    • ►  July (1)
    • ►  May (9)
  • ►  2008 (4)
    • ►  September (1)
    • ►  July (3)

Pageviews

Cuap-Cuap

Tweets by SevyKusdianita

Created with by ThemeXpose