Linkedin Instagram

Pages

  • Home
  • About
  • Contact

SEVY KUSDIANITA

let me tell you a story, about you and me falling in love deeply

Alexandria, 9 Oktober 2014
Untukmu, tempat ku menjatuhkan hatiku

@Montazah Palace, Alexandria
photo taken by Desty Ardian
"Apa hobimu?" aku bertanya padamu di suatu hari yang basah karena hujan. Kau ingat? Kau sedang menekuni sebuah buku tentang perjalanan sebuah kelinci porselen waktu itu. Pandanganmu menjauh dari deretan kata dihadapanmu, menatapku dengan kedua alis yang menyatu. Seakan aku menanyakan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya.
"Membaca," jawabmu, kemudian berkedip dua kali lalu kembali menekuni bukumu. Aku masih ingat, kau membuat napasku berhenti sedetik ketika kau melakukan itu. Seperti kata orang, ribuan kupu-kupu menggelepak di perutku.
"Mengapa?" aku bertanya lagi. "Bisa membawaku keliling dunia," kali ini kau menjawab tanpa mengalihkan pandanganmu dari cerita fantasi itu.
"Aku ingin pergi ke Alexandria," cetusmu suatu hari sambil menatap langit. Sebuah buku menelangkup di dadamu, naik turun mengikuti setiap hembusan napasmu. "Mengapa? tanyaku. Kau pun menceritakan tempat yang kau ketahui dari buku yang baru saja kau baca, berapi-api, dan rinci. Kau membawaku ke Alexandria saat itu juga lewat kata-katamu.
Kini, aku berada di Alexandria. Langkahku menyusuri pedestrian tepi pantai dari Laut Mediterania. Mataku menyusuri Benteng Qaitbay, melihat dengan jelas apa yang pernah kau ceritakan tentang tempat itu. Tanganku menyusuri setiap punggung buku yang ku temui di Bibliotheca Alexandria. Dan aku melihat senja yang kau ceritakan di Taman Montazah. Semuanya persis seperti yang kau bacakan dari buku, seakan menyembul begitu saja, muncul tiba-tiba.

Aku jatuh cinta, di Alexandria. Sepertimu yang jatuh cinta pada tempat ini hanya dari buku yang kau baca. Aku jatuh cinta, di Alexandria. Mengingatkanku tentang hatiku yang jatuh begitu saja kepadamu.
Aku jatuh cinta, di Alexandria. Meskipun kau meninggalkan hatiku kosong sekian tahun, menunggumu pulang.
Aku jatuh cinta, di Alexandria. Meskipun aku menggenggam angin saat menyusuri pedestrian tepi pantai.
Biarkan aku merindu di Alexandria. Mengingatmu yang pernah menciumku di koridor perpustakaan kampus yang lenggang.
Biarkan aku merindu di Alexandria. Mengingatmu yang pernah menyandarkan kepala di bahuku, menikmati senja kesukaanmu dan angin laut favoritku.
Biarkan aku jatuh cinta sekali lagi, di Alexandria. Seperti aku yang jatuh cinta padamu ribuan kali.
October 15, 2014 No comments
Dare to dream big! -anyone who has big dream

Perjalanan menuju Kairo membawa saya menginjakkan kaki di Dubai Internationa Airport untuk pertama kali, meskipun hanya untuk transit. Melihat kata Dubai tercetak rapi di tiket pesawat, tentu saja saya bersemangat. Begitu memasuki bandara, hanya satu hal yang saya cari. Burj Khalifa. Saya mencari lambang kemakmuran padang pasir yang terkenal itu.
Burj Khalifa tidak terlihat dari Terminal 3A di salah satu bandara tersibuk di dunia itu. Namun begitu menginjakkan kaki di Terminal 3B, saya melihat menara itu menjulang cantik dari jendela besar nan tinggi di bandara. Melihatnya menjulang, saya teringat salah satu teman yang punya mimpi ke Dubai untuk melihat menara yang sama. Dia seorang pemimpi besar yang sedang menyusun langkahnya satu per satu untuk menuju mewujudkan mimpinya, salah satunya keliling dunia dan mengunjungi Dubai. Ia salah satu yang mengajarkan saya untuk bermimpi besar dan mewujudkannya. Melihat apa yang diraihnya saat ini, membuat saya percaya. Sebuah mimpi harus dijalani.
Menara cantik yang berdiri megah di kejauhan tampak menggoda saya untuk melihatnya lebih dekat. Sebelum memasuki pesawat menuju Kairo, saya mengabadikan Burj Khalifa sekali lagi dari kamera smartphone saya. Burj Khalifa berhasil berdiri tegak dan menjulang anggun. Tak ada mimpi yang tak menjulang.

4 September 2014

September 27, 2014 No comments
4 September 2014 (Jakarta-Dubai-Cairo)

Dalam dingin dan keringnya udara di dalam pesawat, aku menulis ini untukmu. Kamu yang tak pernah dekat denganku juga tak pernah jauh denganku. Aku yang diam-diam merindukanmu, dan kamu yang diam-diam merindukanku pula.
Bisa kau bayangkan hatiku berdebar kencang saat menulis ini. Ya, aku gugup sekaligus senang. Pergi ke tempat jauh, meninggalkan yang mencintaiku, berjuang untuk membuat diri ini makin dewasa. Tempat yang hanya bisa kulihat dari gambar yang bisa diunduh di laman internet, dalam beberapa jam akan ku tapaki. Andai kau bersamaku saat ini, aku bertaruh bahwa aku akan menggenggam tanganmu erat-erat untuk menyembunyikan segala gugup yang menghambur kepadaku. Dan aku bertaruh kau akan tertawa terbahak-bahak di sampingku.
I dare to dream big. Itu salah kalimat yang diajarkan beberapa sahabatku. Aku belajar dari mereka untuk berani bermimpi besar, berani bermimpi setinggi langit bahkan seluas jagad raya. Aku yakin kau pun begitu. Kau memiliki mimpimu dan aku dengan mimpiku. Ingin rasanya aku berada di sampingmu, menemanimu berjalan menggapai semuanya. Menggenggam tanganmu ketika kamu gugup, ketika kamu takut, ketika kamu butuh kekuatan. Ingin rasanya pula kau ada di dekatku saat aku menggapai mimpiku. Aku ingin membaginya bersamamu.
Kairo hanya salah satu langkahku, menuju mimpi lainnya. Aku sama seperti manusia lain, tak puas hanya dengan satu mimpi. Tetapi jika itu menyangkut dirimu, rasanya akan lebih dari cukup. Aku pergi tidak untuk meninggalkanmu, aku membuat satu langkah lebih lebar untuk menemuimu di puncak.

Aku merindukanmu
September 10, 2014 No comments
Hari sudah gelap ketika, Alia sampai di rumah. Ia merogoh tasnya untuk mencari kunci dengan terburu-buru, bibirnya gemetar menahan dingin air hujan yang membasahi tubuhnya dalam perjalanan ke rumah. Tidak hanya itu, matanya juga bengkak dengan air mata yang tak surut sejak keluar dari kantor kekasihnya sore tadi. Kunci sialan itu tidak kunjung ditemukannya sampai Alia menumpahkan seluruh isi tasnya dan melihat kunci itu jatuh bersamaan dengan seluruh isi tasnya; handphone, dompet, sisir, notes, dan pulpen. Dengan cepat Alia memasukkan kunci ke lubangnya, lalu memutarnya, dalam waktu singkat pintu rumah terbuka lebar. Tanpa mengembalikan barang-barang ke tasnya, Alia hanya meraup semua barang itu ke pelukannya lalu masuk ke rumah. Dibantingnya pintu rumah, lalu ia duduk di sofa ruang tamu dan menangis keras-keras.
Alia masih tidak percaya, Rio, sahabatnya mengkhianatinya. Ia menemukan Rio dan Gilang, kekasihnya, bertukar ciuman penuh gairah di depan matanya saat ia memasuki kantor kekasihnya (sekarang jadi mantan kekasih). Hatinya terluka, sangat terluka. Alia tidak menyangka sahabatnya menyukai sesama jenis, Rio menyukai Gilang yang sangat dicintai Alia setengah mati. Hatinya lebih terluka, mengetahui Gilang juga sama seperti Rio. Ia dibohongi selama ini, dan Alia merasa sangat bodoh setelah mengetahuinya. Ia juga merasa kotor, mengingat setiap ciuman yang dibaginya bersama Gilang dulu. Apa yang harus ku lakukan, Tuhan? teriak Alia dalam hati. Tuhan maha Pengampun, itu jelas bagi Alia. Apakah ia juga harus memaafkan seperti Tuhan memaafkan manusianya? Tetapi rasanya Alia tidak sanggup melakukan hal itu, ia bukan Tuhan. Apa yang bisa kau lakukan Alia? suara hatinya bertanya. Alia tak tahu jawabannya. Tidak, ia tak sanggup menjawabnya.
August 31, 2014 No comments

Jika tidak menemukan keberanian, maka aku tidak pernah melihat dunia

Saya baru saja membaca artikel yang menarik dari worldofwonderlust.com tentang solo trip. Kemudian saya membuka kotak memori melalui ‘buku kenangan’ yang berisi segala macam bukti kesenangan (termasuk tiket kereta, tiket masuk tempat wisata, hingga tiket bioskop), mengingat apakah saya pernah melakukan solo trip atau belum. Thanks God! Saya pernah melakukan solo trip. Bukan ke luar negeri atau luar pulau seperti traveler sejati lainnya. Saya ‘hanya’ mengunjungi Yogyakarta, sebuah kota istimewa sesuai namanya.
Solo trip pertama saya terjadi pada bulan April 2012 selama 4 hari. Mungkin akan memalukan jika saya katakan alasan pertama saya melakukannya di sini, tetapi saya putuskan untuk mengatakannya demi diri saya sendiri dan orang lain yang berniat menggunakan alasan yang sama. Oke, waktu itu saya beralasan ingin mencari data untuk skripsi, and honestly I did it! Kemudian saya berpikir ulang bahwa itu hanya alasan yang saya buat untuk melakukan sebuah ‘pelarian’ singkat. Dan saya tidak menyesal pernah ‘berbohong’ seperti itu, karena saya mendapatkan kesenangan juga kebutuhan untuk skripsi. Ahli Bahasa Indonesia akan mengatakan ‘sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui’ untuk hal ini, bukan?
Seperti backpacker sungguhan, saya pun memilih penginapan murah yang jauh dari keramaian pusat wisatawan dan jauhnya akses kendaraan umum. Waktu itu saya menginap di Hotel Puspita dengan harga kamar 80rb/ malam, dengan kipas angin, kamar mandi dalam yang lumayan bersih, dan sarapan setiap pagi. Ku mohon jangan hakimi atas pilihan saya ini, karena waktu itu saya masih menjadi pemula untuk hal ini (bahkan masih sangat pemula hingga saat ini). Jarak antara tempat menginap dengan shelter TransJogja sekitar 600 m, berjalan kaki sejauh itu setiap hari cukup membuat kaki pegal karena tidak terbiasa sebelumnya. Hotel itu juga milik keluarga, yang bagian resepsionisnya tidak bisa stand by 24 jam di meja resepsionis. Sampai saat ini saya masih merasa bersalah karena mengetuk pintu dan membunyikan bel berkali-kali pada pukul 2 pagi, di hari pertama saya datang ke Yogya.
Hari pertama saya di Yogya, saya langsung menuju salah satu kampus terbesar dan luar biasa untuk mencari bahan menulis skripsi. Ingat, saya menggunakan skripsi sebagai alasan dan saya hanya berusaha memenuhinya saat itu. Usaha saya tak sia-sia, beberapa buku saya temukan dan petugasnya bersedia memfotokopi untuk saya ambil di hari terakhir saya di Yogya nanti. Setelah memastikan saya memenuhi ‘janji’ itu, tentu saja saya bersenang-senang.
TransJogja berbeda dengan TransJakarta, sangat berbeda. Selama 4 hari di kota ini, saya naik turun bus mini ber-AC warna hijau tersebut. Kartu multitrip seharga 25 ribu rupiah sangat membuat perjalanan lebih efektif dan lebih murah. Tetapi shelter yang disediakan kurang banyak, mungkin karena kota ini tidak sebesar Jakarta. Saya lebih banyak berjalan kaki menuju tempat-tempat yang ingin saya kunjungi. Pertama, saya harus jalan kaki lebih dari 1 km untuk mencapai Taman Sari setelah turun dari TransJogja di kawasan antah berantah yang tidak saya kenal waktu itu. Lelah? Tentu saja. Menyesal? Tidak sama sekali. Jika wisatawan mengunjungi Taman Sari, mayoritas akan menuju pintu masuk yang ada tiket box-nya. Mereka akan disuguhi oleh kolam mandi para ratu dan putri keraton terlebih dahulu, baru diajak mengelilingi Masjid Bawah Tanah dan reruntuhan ‘vila’ kerajaan dengan melewati kampung yang ada disekitarnya. Berkat TransJogja, saya melakukan sebaliknya. Tanpa pengetahuan yang cukup, saya justru melewati perkampungan, reruntuhan ‘vila’ kerajaan, Masjid Bawah Tanah, lalu bagian utama Taman Sari. Tidak ada guide, tidak ada teman. Membuat saya leluasa berjalan sambil mengamati perkampungan itu. Inilah mengapa saya katakan tidak menyesal sama sekali.
Kedua, untuk ke Keraton Yogyakarta, saya harus turun di shelter Taman Pintar atau shelter Malioboro 3 lalu berjalan kaki. Sebenarnya ada becak, waktu itu saya berpikir mending jalan kaki daripada menghabiskan 10-15 ribu untuk naik becak. Pemikiran kere? Terserahlah, saya tidak peduli dengan hal itu. Terakhir kali mengunjungi keraton, saat saya kelas 2 SMP pada tahun 2007. Ada yang berubah? Saya rasa tidak. Keraton tetap berdiri kokoh dengan abdi dalem yang setia. Kalau dulu saya mengunjungi keraton dengan lebih banyak berkeliling dan berfoto bersama teman-teman, saat itu saya lebih banyak menghabiskan waktu dengan duduk manis menonton pertunjukan wayang lalu mengobrol dengan abdi dalem.
Obrolan dengan abdi dalem cukup menarik. Pertama, abdi dalem yang saya temui saat itu bukan kakek-kakek sepuh, tetapi bapak-bapak paruh baya yang terkejut dengan anak gadis yang bepergian sendiri. “Bapak sudah berapa lama mengabdi?” tanya saya pada beliau yang dijawab, mungkin seumur hidupnya ia sudah mengabdi. Bisa dibayangkan, mata saya hampir copot mendengar hal itu. Tetapi si Bapak segera mengkonfirmasi bahwa beliau sejak kecil sudah melihat kakek dan bapaknya mengabdi untuk keraton, maka beliau pun memilih jalan yang sama. Luar biasa, adalah kata yang tepat untuk menggambarkannya saat itu. “Semoga berhasil kuliahnya, dan selamat menikmati Jogja,” diucapkan si Bapak ketika mengakhiri obrolan dengan saya.
Ketiga, mengeksplor pasar buku di belakang Taman Pintar dekat dengan Taman Budaya Yogyakarta tidak bisa saya lewatkan begitu saja. Hampir sama dengan Pasar Buku Wilis di Malang, toko-toko kecil dengan koleksi buku bekas, baru, hingga bajakan. Saya tidak berhasil mendapatkan Anna Karenina karya Leo Tolstoy, tetapi saya mendapatkan serial Sherlock Holmes dengan harga super miring.
Belanja di Yogya? Harus, ini menurut saya. Mirota batik, one stop shopping. Di mana saya mendapatkan berbagai penak-pernik lucu untuk oleh-oleh keluarga dan teman satu kamar kos. Pasar Beringharjo adalah pasar yang membuat saya penasaran setengah mati. Pertama, tentu saja saya belanja batik di bagian depan yang berderet stand-stand batik. Satu batik seharga 60 ribu untuk tubuh saya yang besar, sudah cukup murah bagi saya. Tidak itu saja, penasaran saya berlanjut sampai saya melangkah ke bagian belakang pasar yang menjual bahan-bahan untuk membuat jamu tradisional. Aromatherapy khas rempah-rempah langsung menusuk hidung saya, rasanya seperti menerima healing gratis. Bagi yang tidak suka aroma macam itu pasti langsung pusing dan muntah.
The highlight dari solo trip saya adalah a date with old friend. Sahabat cowok sejak SD hingga SMA, yang menempuh pendidikan di Solo. Sejak lulus SMA, saya belum pernah bertemu dengannya hingga dia rela menemui saya di Yogya saat itu. Kami janji bertemu di depan Taman Pintar, kemudian mengisi perut di depan Pasar Beringharjo. Pecel murah meriah dengan berbagai pilihan lauk dan es teh sebagai penyegar. Museum Affandi adalah tujuan date kami saat itu. Menaiki TransJogja dari shelter Malioboro 3 ke Museum Affandi di Jl. Laksda Adi Sucipto harus memutar jauh sekali diwarnai dengan macet, hingga memakan waktu perjalanan sekitar satu jam. “Apa kabar?”, “Sedang sibuk apa?”, “Sudah punya pacar?”, adalah tiga pertanyaan utama yang diajukan untuk masing-masing diri. Sahabat saya ini luar biasa. Saya selalu menilainya seperti itu sejak SD. Dia salah satu yang memiliki kekurangan di dirinya, tetapi tidak menjadikan kekurangan itu sebagai kelemahan. Saya masih ingat, saat lulus dari SD, guru saya curhat soal kekhawatirannya terhadap sahabat saya itu. Khawatir dia menjadi bahan bullying, yang ternyata kekhawatirannya tidak terjadi sama sekali. Sense of humor yang luar biasa dan kebaikan hatinya yang juga luar biasa mampu menutupi segala kekurangan di dirinya, hingga ia bisa melalui seluruh bagian hidupnya tanpa sedikitpun terganggu oleh pendapat orang lain tentang kekurangannya. Tidak hanya itu, otaknya yang encer membuatnya dipercaya oleh dosen dan mendapatkan pekerjaan yang yang sesuai passion-nya, tata kota. Dia juga salah satu yang tidak roaming saat membicarakan isu-isu yang menjadi bidang saya karena pengetahuannya yang luas.
Waktu itu dia minta maaf tidak bisa datang ke pemakaman ibu saya yang terjadi pada 2010. Kemudian, saya bercerita tentang beberapa hal yang terjadi pada hidup saya setelah kematian ibu saya kepadanya. Dia mendengarkan, hanya mendengarkan. Sebelum dia kembali ke Solo petang itu, dia mengatakan yang intinya “Kita harus traveling bareng kapan-kapan”, saya mengiyakan.
Malam itu di kamar hotel, saya sadar betapa beruntungnya diri saya. Pertama, saya beruntung menemukan keberanian untuk traveling seorang diri. Kedua, saya beruntung tidak pernah memburu diri saya sendiri untuk membuat diri saya sama seperti traveler lainnya. Karena dengan melakukan segalanya secara perlahan dan tepat, saya bisa menemukan kepuasan tanpa penyesalan sedikit pun. Ketiga, saya beruntung memiliki sahabat seperti sahabat saya itu. Darinya saya belajar mengolah kekurangan menjadi kekuatan, tidak menjadikan kekurangan sebagai hambatan. Solo trip sederhana itu memberikan saya keberanian untuk melakukan solo trip selanjutnya.
August 22, 2014 No comments
Dahulu kala, di masa lalu yang luar biasa, ada kelinci yang menemukan jalan pulan - Kate Di Camillo (The Miraculous Journey of Edward Tulane)

Dahulu kala,
seberapa lama 'dahulu kala'? Apakah ketika Tuhan membentuk dunia? Apakah ketika manusia menemukan kata-kata? Apakah ketika manusia menemukan kapal lalu berlayar ke penjuru dunia?
Dahulu kala, ketika aku belum tercipta. Ketika aku belum dipertemukan denganmu. Ada suatu masa yang luar biasa

Masa lalu yang luar biasa,
Manusia menemukan bola lampu. Manusia menemukan telepon untuk berbicara dengan yang jauh. Manusia menemukan kereta untuk menemui kesayangan.
Masa di mana aku tidak pernah tahu. Tuhan menyembunyikan masa itu dariku, darimu.

Ada kelinci yang menemukan jalan pulang,
Seperti apa jalan pulang itu? Apakah aku akan tersesat di hutan? Ataukah aku akan terombang-ambing di laut? Apakah aku bisa menemuimu di ujung jalan pulang itu?
August 10, 2014 No comments
Semuanya serba tiba-tiba
Hujan yang selalu datang tiba-tiba menghilang. Aku bisa melihat tunas yang tumbuh di halaman rumah, dekat pohon besar yang ditanam moyangku.
Angin musim dingin pun tak lagi berhembus, digantikan angin musim panas yang masuk melalui jendela kamar yang ku buka lebar-lebar. 
Aku bisa melihatmu berbaring telungkup di atas selimut kotak-kotak yang kau bentangkan di rerumputan di halaman rumah. Tak jelas kau sedang membaca apa, mungkin novel misteri yang belum sempat kau selesaikan atau mungkin majalah National Geographic yang baru datang pagi ini.
Derap langkah dari sepasang kaki mungil menuju ke arahku. Wajah itu, separuh diriku separuh dirimu, tersenyum lebar. Tak peduli tangannya yang kotor karena pasir, atau sekeliling bibirnya yang belepotan karena es krim. Dia mengoceh tentang kupu-kupu yang tak bisa ditangkapnya dengan tetangga sebelah yang seumuran dengannya. Dia menuntut perhatianku, dan tanpa usaha keras dia mampu mendapatkannya.
Kau pun menatap ke arahku melalui jendela kamar yang ku buka lebar-lebar. Tersenyum dan membisikkan kata yang selalu mampu membuatku jatuh cinta padamu.
Mungkin ini mimpi di musim panas, mimpi yang selalu hadir. Aku tak ingin terbangun.
June 11, 2014 No comments

Tak ada habisnya jika membicarakan tentangmu. Kamu yang selalu memasang wajah memelas, meminta perhatianku. Tak jarang pula kesal, ketika aku tak cukup peka memperhatikanmu.
Tak ada habisnya jika membicarakan tentangmu. Kamu yang tiba-tiba mengatakan aku cantik ketika aku memoles sedikit lipstik di bibirku.
Tak ada habisnya membicarakan tentangmu. Kamu yang diam-diam mengambil gambarku dengan kamera ponselmu.
Tak ada habisnya membicarakan dirimu. Kamu yang sok misterius membawaku ke tempat favoritmu. Hey, sudah berapa perempuan yang kau bawa ke sini?
Ah, tak ada habisnya pula ketika menulis tentangmu. Seakan kata-kata terus membanjiri kepalaku.
Tak ada habisnya ketika menulis tentangmu. Kamu selalu jadi pembaca pertamaku.
Tak ada habisnya menuliskan tentangmu.
Jika aku berhenti menulis tentangmu, apakah aku akan berhenti mengingatmu?

May 14, 2014 No comments
Aku tidak tahu kapan persisnya kita bertemu. Apakah itu sepuluh tahun yang lalu, atau lima belas tahun yang lalu? Ah, entahlah. Aku benar-benar lupa. Lagipula tak penting bagiku kapan kita bertemu. Kamu ada dalam hidupku, itu yang penting.
Namun aku masih ingat, kesan pertama apa yang timbul ketika bertemu denganmu. Kamu gadis kecil yang beranjak remaja, dengan mata yang selalu berbinar, bahkan semakin bersinar ketika kamu tertawa. Aku belajar cara tersenyum dan tertawa darimu. Tapi, aku pun tahu kamu bukan gadis kecil yang selalu tertawa. Aku pernah melihat air matamu, aku pun pernah melihat marahmu.
Aku dan kamu berbagi cerita cinta pertama. Berbagi kebodohan saat puber.
Aku memutuskan pergi dari rumah ketika beranjak dewasa. Kamu memilih tetap tinggal, yang kini ku tahu itu pilihan paling bijak yang pernah ku temui darimu. Aku dan kamu, berbagi bijak kala dewasa.
Kita terpisahkan jarak, tapi aku tahu kamu akan selalu mengatakan 'aku di rumah' ketika aku lelah, ketika aku rindu. Kamu rumahku.
Manusia bergerak maju, kau pun melangkah menuju pintu yang kau pilih. Sekali lagi, aku melihat pilihan paling bijak darimu.
Hari ini, aku melihat perempuan paling cantik dan paling bahagia dalam hidupku. Aku melihatmu, sahabatku.
Hari ini, dia tak lagi menjadi gadis kecil ayahnya lagi. Hari ini, dia menjadi perempuan dewasa. Aku melihatmu, sahabatku.
Kamu lebih dari cinderella yang menemukan pangerannya. Kamu menemukan hidupmu.

Untuk Hana
May 12, 2014 No comments
Siang ini hujan mengguyur kotaku, apakah hujan juga turun di kotamu?
Aku merindukan duduk bersandar padamu di sofa kesayangan rumah kita, yang sengaja kamu letakkan menghadap jendela. Supaya aku bisa menikmati matahari ketika cerah dan supaya kita bisa menikmati hujan bersama, katamu.
Tunggu sebentar lagi, Sayang. Tulismu di pesan singkat yang kuterima tadi pagi.
Ya, aku menunggumu.
April 27, 2014 No comments
Saya tidak akan pernah gagal.
Kalimat itu sudah pernah saya katakan, dan akan saya penuhi. Saya tidak akan pernah gagal.

Ada yang pernah mengatakan bahwa keburukan tidak bisa dibalas dengan keburukan, hanya kebaikan yang bisa dijadikan balas dendam paling sempurna. Tetapi yang saya ketahui, tidak semua orang bisa melakukannya. Mereka yang bisa melakukannya adalah pahlawan sejati bagi saya. Saya ingin jadi salah satunya. Ini janji saya.
Banyak orang yang menyakiti hadir dalam kehidupan, tapi banyak pula orang yang selalu berbuat kebaikan. Keduanya selalu seimbang. Saya tidak akan membicarakan berapa banyak orang yang menyakiti saya selama saya hidup, karena saya yakin jumlahnya akan bertambah banyak seiring dengan umur saya yang bertambah. Saya juga tidak akan membicarakan berapa banyak orang baik yang hadir dalam kehidupan saya, karena jumlahnya juga pasti bertambah setiap harinya. Saya hanya akan membicarakan pilihan-pilihan yang bisa saya buat untuk menjalani kehidupan saya.
Ada beberapa orang yang datang hanya karena mereka membutuhkan, saya senang, karena ternyata hidup saya bermanfaat bagi orang lain. Tetapi ketika saya membutuhkan, mereka menghilang atau bahkan berpura-pura sibuk. Saya tidak keberatan dengan hal itu, semua manusia punya prioritasnya masing-masing. Saya pikir, saya bukan termasuk dalam prioritas mereka, itu saja.
Ada beberapa orang yang terang-terangan melukai saya. Apakah saya membalasnya? Saya rasa, saya tidak sanggup melakukan hal yang sama dengan apa yang mereka lakukan. Mungkin ada orang lain yang bisa melakukannya. Tapi tidak dengan saya.
Saya berjanji pada diri sendiri, bahwa saya akan menunjukkan bahwa saya tidak akan pernah gagal dalam memberi. Ada banyak orang yang baik kepada saya, berbuat baik kepada orang lain bahkan kepada yang melukai saya adalah cara terbaik untuk membalas kebaikan yang diberikan Tuhan kepada saya.

Saya berjanji,
April 24, 2014 No comments
Jika cinta itu selalu tentang berbalas, maka apa makna memberi?
April 24, 2014 No comments
Dear sissy,

Ini kali kedua aku menulis untukmu, dan kali kedua pula memberi tahu padamu tentang apa yang ku rasa. Kau kenal betul siapa aku dan bagaimana diriku. Aku tidak pandai mengungkapkan apa pun kepadamu secara langsung. Aku hanya bisa menulis. Kali ini pun aku menulis padamu.
Maafkan aku, sissy. Maafkan aku.
Aku tidak pernah bisa menjadi kakak perempuan yang baik untukmu. Terlalu banyak lubang yang ku buat, dan terlalu banyak celah yang ku lewatkan. Aku buruk untuk ukuran kakak perempuan. Sangat buruk.
Aku selalu merasa bersalah ketika kau mendapatkan undangan santunan anak yatim, atau ketika kau mendapatkan jatah beras zakat sebagai anak yatim. I feel so bad about it. Tetapi itu sesuatu yang tak bisa ku ubah dan sesuatu yang tak bisa ku kendalikan. Aku tahu, kau pun juga sangat paham tentang aturan santunan itu di keyakinan kita. I just feel so bad.
Ketika ayah memutuskan untuk menikah lagi, dan kita mendapat anggota keluarga baru, aku berharap kau tidak lagi mendapatkan itu. Karena aku tahu, ada banyak yang lebih berhak mendapatkannya daripada kita.

Maafkan aku, sissy. Maafkan aku.
Aku mungkin bisa mengajarimu menjadi perempuan yang kuat. Tetapi aku tidak pandai mengajarimu tentang cinta. Aku tidak pandai jatuh cinta, sissy.
Semua orang menjadi bodoh ketika jatuh cinta, aku pun begitu. Aku pernah mencintai pria yang salah, dan saat ini pun aku mencintai pria yang salah. Namun aku tidak bisa menghindari perasaan itu. Aku hanya bisa mengendalikan pilihan-pilihanku terhadapnya. Aku memilih mencintainya, tetapi aku memilih untuk tidak bersamanya saat ini.
Kau bingung. Tentu saja kau bingung dengan apa yang menjadi keputusanku. Kau tahu, dunia orang dewasa terlalu membingungkan, bahkan untukku. Kau memilih hal yang bertolak belakang dengan hatimu.
Kau mengatakan padaku, kenapa aku tidak bisa mencintai saja? kenapa aku tidak memperjuangkannya? Cinta memang sederhana, namun ia dibungkus oleh pilihan-pilihan yang rumit. Namun ketahuilah, cinta yang membuat aku seperti sekarang. Menguatkan dan memberi keberanian menentukan pilihan hidup.

Maafkan aku sekali lagi
Aku tidak pernah bisa berada di dekatmu, di waktu-waktu terpenting dalam hidupmu. Kau akan memahami alasannya, ketika kau berada di posisiku nanti. Aku ingin kau menjadi perempuan yang lebih daripada diriku. Aku ingin kau menjadi perempuan cantik, berani, dan penuh cinta dihatinya.

Sissy,
ada satu hal yang ingin sekali kulakukan bersamamu. Aku ingin melakukan perjalanan bersamamu. Menapakkan kaki di tempat asing. Menghirup udara yang berbeda. Mencicip rasa yang tak sama. Aku ingin keliling dun
April 08, 2014 No comments
Saya baru saja membuat garis batas. Bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk saya sendiri

Sebuah garis, sebuah batas. Berharap bisa melindungi dari segala macam yang bisa menghancurkan.
Bukannya saya takut tantangan, Mulia. Saya hanya tak ingin menghabiskan tenaga saya untuk meladeni mereka yang tak menghargai saya sebagai manusia.
Saya tahu saya salah, Mulia. Saya meminta maaf untuk salah saya. Mulia pun akan memaafkan saya, bukan?

Sebuah garis, sebuah batas. Saya lelah melompat.
Berjalanlah, saya dengar Mulia mengatakan itu pada saya. Menjadi kuat bukan berarti tak pernah terluka. Saya memberanikan diri terluka. Hanya saja kadang, saya tak ingin terluka di tempat yang sama dengan sebab yang sama. Saya bodoh jika saya membiarkan itu terjadi. Bukan begitu, Mulia?

Sebuah garis, sebuah batas. Saya mengambil arah lain.
Bijakkah, Mulia? Bolehkan saya mengambil arah lain? Padahal saya pernah berjanji untuk tetap berada di tempat saya. Tapi saya mulai lelah, tempat itu mulai tak nyaman. Mulai membuat saya sakit di tempat yang sama. Saya akan pergi, Mulia. Sejauh-jauhnya pun tak masalah, asalkan Mulia ada di samping saya. Itu sudah cukup.

Sebuah garis, sebuah batas. Saya hanya punya Mulia.
March 22, 2014 No comments
Dear Kamu,
Kamu pernah menanyakan padaku bagaimana rupa cinta. Aku tidak langsung menjawabnya pada saat itu, hanya kerutan kening dan kerucut bibir yang ku berikan padamu sebagai jawaban.
Kamu pernah bertanya padaku bagaimana rupa rindu. Lagi-lagi aku berpikir keras, jawaban apa yang bisa ku berikan padamu.
Kamu pernah bertanya padaku, bagaimana kalau kau jatuh cinta padaku. Aku hanya bisa tertawa keras-keras mendengar pertanyaanmu itu.

Dear Kamu,
Aku tidak tahu persis bagaimana rupa cinta.
Aku hanya tahu, aku merasa cukup ketika melihatmu, wahai lelaki yang tak suka kopi.
Aku hanya tahu, aku suka berbicara denganmu. Berjam-jam duduk, menatap mataku, sesekali cemburu kepada kakak lelakiku, dan sering tertawa bersamaku.
Aku hanya tahu, aku suka melihatmu membaca. Wajah serius dengan bibir mengerucut itu selalu ingin membuatku menciummu, menginterupsi apa pun yang sedang kau baca.

Dear Kamu,
Aku tidak tahu persis bagaimana rupa rindu.
Ketika kau tidak di dekatku, hatiku sakit. Mendengar suaramu dari kejauhan, menyeruakkan kenangan hari-hari hangat bersamamu. Aku pernah mengatakan padamu, bahwa aku selalu ingin berkemas lalu naik kereta paling awal untuk sampai di kotamu dengan cepat.

Dear Kamu,
Kamu pernah bertanya padaku, bagaimana kalau kau jatuh cinta padaku. Then, love me if you dare.

March 20, 2014 No comments
Jarang ada yang bisa merasa cukup dengan cinta yang datang kepadanya. Padahal, cinta itu selalu tentang merasa cukup. Kamu gimana? 
March 15, 2014 1 comments
Ada masa ketika kita mengagumi musim panas bersama. Kita duduk di bawah pohon, beralaskan selimut kotak-kotak berwarna merah jambu, dan kotak makan siang yang setengah terbuka di dekat kita. Kau hampir menghabiskan bola nasi tuna buatanku. Saat itu angin berhembus perlahan, menyapu wajah seakan membawa kehangatan dari jauh yang kita tidak pernah tahu asalnya.
Ada masa ketika kita mengagumi musim panas bersama. Kau membawaku ke sungai sedangkal mata kaki yang airnya sebening permata. Melepaskan sepatuku, lalu membuatku merasakan kasarnya bebatuan sungai. Kau bilang padaku kalau bebatuan itu bisa membuat halus kakiku. Aku percaya.
Ada masa ketika kita mengagumi musim penghujan. Kita duduk di toko kue favoritku yang menjual tiramisu kesukaanku. Hujan turun deras sekali di luar sana. Kita bisa melihatnya dari jendela toko yang lebar. Kau bilang, kau suka hujan. Kau suka bau hujan yang bercampur debu.
Ada masa ketika kita mengagumi musim penghujan. Kita berteduh di teras toko yang sudah tutup, menunggu hujan reda. Kau mengaitkan kelingkingmu ke kelingkingku erat, lalu kau bilang kau suka hujan. Mengapa? Karena kau, jawabmu. Lalu kau menciumku.
Ada masa aku menikmati musim panas sendiri, di bilik kamarku. Jendela ku buka lebar-lebar, membawa sinar matahari masuk ke kamar. Angin meniup gorden putih berbunga yang dipasang ibuku. Aku membaca suratmu yang kesekian kalinya.
Ada masa ketika aku menikmati musim panas sendiri, di toko es serut favoritmu di pasar lama. Aku berbincang dengan pemiliknya yang renta namun masih bersinar. Berbicara tentang udara yang panas, masa mudanya yang berharga, lalu berbincang tentang dirimu. Kami tertawa bersama, seperti ketika kau mengajakku ke sini pertama kali lalu mengobrol dengannya.
Ada masa ketika aku menikmati musim penghujan sendiri, di kedai kopi favoritku yang menjual wafel kesukaanku. Asap panas mengepul dari segelas americano yang ku pesan. Aku sedang menulis berlembar-lembar surat untukmu.
Ada masa ketika aku menikmati musim penghujan sendiri, di ruang tunggu bandara. Berkali-kali melihat papan jadwal kedatangan pesawat, menunggu dengan cemas. Jantungku berdebar ketika pesawat yang ku tunggu sudah mendarat. Tak henti-hentinya aku memandangi pintu keluar, satu per satu wajah lelah muncul. Lalu aku melihat wajah yang selalu ingin ku lihat. Kau menghampiriku, lalu menciumku.
February 10, 2014 No comments
"Kalau jadi superhero, kamu ingin jadi siapa?" 
Seseorang pernah menanyakan seperti itu kepada saya, membuat saya berpikir keras untuk menjawabnya. Siapa? Menjadi siapa enaknya?
Kadang saya ingin menjadi Batman, Sang Satria Kegelapan. Punya banyak uang, kaya raya, kuat, bisa membantu siapa saja, dan punya banyak peralatan canggih untuk memberantas kejahatan. Tapi saya memikirkan si Batman ini ketika dia menjadi orang biasa. Bruce Wayne hampir selalu kesepian di rumahnya yang seperti istana. Tak ada orang tua, tak ada kekasih. Jika bukan karena Alfred yang setia melayani dan mendampinginya, tentu tidak akan pernah menjadi Batman yang kuat itu.
Kadang saya juga ingin seperti Spiderman, si Manusia Laba-Laba. Kekuatan yang besar, bisa memanjat, menumpas kejahatan di sana-sini. Namun kehidupan remaja Peter Parker tidak mudah. Kehilangan kedua orang tuanya, lalu pamannya. Dia hanya remaja biasa ketika kostumnya di lepas, remaja yang ingin memiliki kehidupan normal tanpa embel-embel superhero.

"Kalau jadi superhero, kamu ingin jadi siapa?"
Saya mendengar pertanyaan itu lagi. Kali ini saya tersenyum lalu menjawab, "Bolehkah saya jadi orang biasa saja?"
Rasanya menjadi biasa pun tak mudah. Banyak sekali yang membentur di sana-sini, banyak sekali cacat yang saya buat ketika ingin menjadi biasa. Namun akan sangat mudah sekali ketika saya sekali-sekali berlagak seperti superhero.
Saya ingin sekali-kali menghakimi, seperti mereka menghakimi saya. Kelihatannya mudah, namun ternyata perlu keberanian mengambil resiko ketika melakukannya.
Saya ingin marah ketika saya kecewa, seperti mereka marah kepada saya karena mengecewakan mereka. Ternyata tidak mudah, karena mereka semakin memusuhi saya.
Saya ingin menangis ketika saya terluka, seperti mereka yang pernah menangis dihadapan saya meminta belas kasihan karena terluka. Namun ternyata juga tidak mudah, karena keinginan untuk didengarkan selalu tidak sebanding dengan mendengarkan.
Saya ingin tertawa bebas ketika senang. Namun ternyata ada yang tidak bisa tertawa ketika saya sedang bahagia.
Saya ingin menjadi biasa, biasa yang mudah. Sekali saja. Bolehkah?
February 08, 2014 No comments
saya tidak pernah percaya bahwa yang pecah dapat diperbaiki dengan cara merekatkan kembali bagian pecahannya satu per satu. prosesnya memang lama, dan perlu hati-hati dan ketepatan. namun ketika sudah selesai direkatkan lagi, bukankah kita masih bisa melihat bekasnya? itulah mengapa saya tidak pernah percaya kekuatan memperbaiki. 
February 01, 2014 No comments

Aku membenci malam yang tidak kunjung membuatku terpejam.
Karena aku akan mulai memikirkanmu diam-diam

Aku membenci malam yang terlalu panjang.
Karena rinduku selalu meradang.

Aku membenci malam yang terlalu gelap.
Karena selalu membiarkanku berada dalam kelam.

Kamu selalu hidup dalam malam. Ia memberimu harapan.

Kamu selalu mencintai malam kelam. Di mana aku tak pernah ingin ada di sana.

Ia berimu harapan. Aku beri radang.

January 06, 2014 No comments
Newer Posts
Older Posts

About me




a wanderer, in a past time and to the future
a reader, who suddenly stop to laughing or crying
once an editor, who loves to read so much


Blog Archive

  • ►  2018 (4)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2017 (8)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (1)
    • ►  March (1)
  • ►  2016 (8)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  September (1)
    • ►  July (2)
    • ►  March (1)
  • ►  2015 (3)
    • ►  November (2)
    • ►  June (1)
  • ▼  2014 (20)
    • ▼  October (1)
      • Aku Jatuh Cinta, di Alexandria
    • ►  September (2)
      • Tak Ada Mimpi yang Tak Menjulang
      • Another Big Step
    • ►  August (3)
      • Sahabat, Luka, Memaafkan
      • Yogyakarta: First Solo Trip
      • Dahulu Kala....
    • ►  June (1)
      • Midsummer Night Dream
    • ►  May (2)
      • Tentangmu
      • Untuk Hana
    • ►  April (4)
      • Siang ini hujan mengguyur kotaku, apakah hujan ju...
      • I Will Not Fall Down
      • Jika cinta itu selalu tentang berbalas, maka apa ...
      • Surat Untuk Adikku
    • ►  March (3)
      • Sebuah Garis, Sebuah Batas
      • Dear Kamu
      • Tentang Cinta
    • ►  February (3)
      • Ada Masa
      • Biasa yang tak pernah mudah
      • saya tidak pernah percaya bahwa yang pecah dapat ...
    • ►  January (1)
      • Malam
  • ►  2013 (29)
    • ►  December (4)
    • ►  November (4)
    • ►  October (1)
    • ►  September (2)
    • ►  July (1)
    • ►  June (3)
    • ►  May (3)
    • ►  March (6)
    • ►  February (1)
    • ►  January (4)
  • ►  2012 (41)
    • ►  December (4)
    • ►  October (3)
    • ►  September (4)
    • ►  August (3)
    • ►  July (4)
    • ►  May (6)
    • ►  March (6)
    • ►  February (3)
    • ►  January (8)
  • ►  2011 (42)
    • ►  December (13)
    • ►  November (5)
    • ►  September (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (2)
    • ►  March (4)
    • ►  February (3)
    • ►  January (8)
  • ►  2010 (12)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  August (1)
    • ►  April (4)
    • ►  January (2)
  • ►  2009 (10)
    • ►  July (1)
    • ►  May (9)
  • ►  2008 (4)
    • ►  September (1)
    • ►  July (3)

Pageviews

Cuap-Cuap

Tweets by SevyKusdianita

Created with by ThemeXpose