Linkedin Instagram

Pages

  • Home
  • About
  • Contact

SEVY KUSDIANITA

let me tell you a story, about you and me falling in love deeply



Sudah beberapa saat sejak trailer pertama Aruna dan Lidahnya hilir mudik di beberapa chanel You Tube atau beberapa media sosial lainnya. Hal yang paling saya ingat tentang film ini adalah sebuah buku dengan sampul gambar mangkuk ayam jago yang selalu jadi khas penjual mie ayam atau bakso. Tapi tidak, tentu saya tidak akan membicarakan bukunya atau mie ayamnya. Saya akan menceritakan pengalaman saya menonton film ini.

Film ini bercerita tentang Aruna yang sedang menyelam sambil minum air. Jangan dibayangkan dia menyelam beneran loh ya. Maksudnya, Aruna yang sedang ditugaskan untuk investigasi 'wabah' flu burung juga menyempatkan diri untuk kulineran bersama teman-temannya, Bono (seorang chef) dan Nandesta (penulis). Muncul juga Farish, patner Aruna dalam tugas sekaligus lelaki yang ditaksirnya. Investigasi flu burung dan wisata kuliner tentu saja hal yang berbeda jauh. Aruna menjalankan keduanya. Menemukan masalah, tentang rasa dan tentang manusia.

Makanan, adalah hal pertama yang menarik perhatian saya ketika trailer film ini muncul. Saya penasaran bagaimana makanan diwujudkan dalam bentuk visual oleh sutradaranya, terlebih jika pemeran utamanya Mbak Dian Sastro dan Mas Nicholas Saputra. Tentu saja juga tentang rasa penasaran saya sebagai salah satu penonton AADC. Saya penasaran bagaimana dua mas dan mbak ini ada dalam satu frame tanpa cap Rangga dan Cinta. 

Pertama, makanan. Saya menikmati setiap sajian visual makanan yang ditampilkan dalam film. Bagaimana proses memasak sop buntut menggoda. Atau ketika seorang bapak mendeskripsikan soto lamongan yang menjadi masakan andalan almarhum istrinya. Soto lamongan yang banyak tersebar di seluruh Indonesia itu, yang menurut saya biasa saja, entah mengapa bisa membuat saya menelan ludah. Visual yang ditampilkan dalam film ini serasa membuat makanan-makanan itu siap menyembul dari balik layar dan siap untuk disantap.

Kedua, tidak ada lagi Cinta dan Rangga!! Saya senang. Udah itu aja.

Namun sayangnya saya tidak paham mana yang lebih diprioritaskan untuk disampaikan dalam film ini. Tentang kuliner kah? Atau tentang nilai-nilai yang ditemukan Aruna dalam menjalankan tugasnya? Keduanya kabur menurut saya. Jika kuliner yang hendak disampaikan, maka visual saja tidak cukup untuk menyampaikannya. Perlu informasi yang lebih jelas apabila ingin menonjolkan makanan Indonesia yang beragam itu. Begitu pula tentang nilai-nilai yang ditemukan Aruna, proses berpikir mendalam yang dialami Aruna sehingga bisa menemukan nilai-nilai itu pun tidak ditampilkan secara jelas. Penonton perlu melihat lebih teliti keseluruhan film apabila ingin menemukan proses berpikir mendalam tersebut, karena saya rasa sang Sutradara pun sudah menyisipkan di dalamnya. 

Tapi film ini membuat saya senang dengan celetukan recehnya yang menyentil. Tentang pencarian resep nasi goreng Mbok Sawal, yang menyampaikan bahwa pencarian yang jauh itu kadang tidak perlu dilakukan kalau kita bisa melihat lebih dekat dan memahami lebih baik. Juga tentang musik yang memanjakan telinga, dan warna-warna yang dipilih untuk menghidupkan sinemanya. Penyampaian narasi yang cenderung atraktif dengan penonton pun juga cukup segar, sehingga sebagai penonton saya pun merasa menjadi bagian dari adegan-adegan yang dijalani Aruna.

Apa saya senang setelah menonton film ini? Iya, saya senang. Cukup.

September 30, 2018 No comments
"Kenapa sih kamu ngga bisa seperti mereka?"
"Kenapa sih kamu menyia-nyiakan kesempatan?"
"Kamu seharusnya jadi *ini*, yang normal"

Hmm... Ada masa dalam hidup pertanyaan-pertanyaan itu diajukan kepada saya. Bukan dari orang lain, justru pertanyaan-pertanyaan itu muncul dari orang-orang terdekat. Pada saat itu saya lebih sering bertanya kepada diri sendiri, apakah saya memang tidak normal?

Dari pertanyaan itu muncul pertanyaan-pertanyaan lain yang saya ajukan untuk diri sendiri seperti; jika saya memilih Z sedangkan yang lain memilih A, apakah saya akan jadi aneh?, atau; jika saya tidak menyukai apa yang orang lain sukai apakah saya normal?, atau juga seperti ini; jika saya tidak ingin menjadi seperti mereka, apakah saya akan gagal?
Hingga pertanyaan itu mengerucut menjadi satu pertanyaan utama, bagaimana sebenarnya menjadi normal itu?

Bertahun-tahun saya dihantui oleh pertanyaan yang sama. Meskipun berkali-kali saya diingatkan bahwa tidak perlu menjadi normal jika menjadi 'aneh' membuatmu bahagia. Tetapi mengapa saya tetap terjebak di lingkaran yang sama? Jawabannya, saya tidak menerima diri saya sendiri, saya tidak memaafkan diri sendiri, dan saya tidak mencintai diri sendiri.

Jawaban itu saya temukan baru-baru ini, ketika kehidupan saya mulai terganggu. Saya berhenti menulis, kepekaan saya tumpul, saya pun bingung. Inilah yang mengganggu. Rasanya hidup saya sia-sia. Saya ketakutan dengan keadaan ini, hingga akhirnya saya memutuskan untuk hidup.

Ya, saya ingin hidup. Hanya itu.
Dengan beberapa bantuan, saya mengaji kembali hal-hal sederhana yang pernah luput. Saya menemui keheningan yang ternyata tidak pernah benar-benar saya sambangi. Keheningan yang seharusnya bisa membuat saya lebih peka melihat dan lebih peka merasakan. Keheningan yang awalnya saya kira gelap, tapi justru hal itulah yang membantu saya menemukan titik terang.

Pada akhirnya saya belajar untuk melepaskan, belajar memaafkan diri sendiri, dan belajar menerima. Apakah hal ini mudah? Tentu saja tidak. Ada hal-hal yang membuat saya berhenti belajar, hingga saya kembali terkurung. Apakah saya bodoh hingga membiarkan itu terjadi? Entahlah, mungkin saat itu Tuhan menguji kesungguhan saya. Hingga pada satu titik saya memutuskan untuk memulai lagi, meskipun membuat saya begitu lelah.

Saya mengulangi lagi dari awal, dari titik nol. Menemukan sistem dukungan yang saya butuhkan, menemukan alasan untuk tidak menyerah, hingga akhirnya saya menyadari saya ini berharga. Ya, saat itu saya memutuskan bahwa saya berhenti menjadi normal. Saya tidak butuh menjadi normal, saya hanya butuh merasakan bahagia meskipun itu jauh dari hal-hal normal. Saya hanya butuh memaafkan diri sendiri sekali lagi, dan menerima diri sendiri sekali lagi pula.

Ya, saya cukup menjadi diri saya sendiri. Berhenti menjadi 'normal'.
September 18, 2018 No comments
Aku ingin bahagia. Menjadi diri sendiri, menikmati hidup.
Aku ingin bahagia. Menuliskan suka, menceritakan duka. Membaginya pada manusia.
Aku ingin bahagia. Sebuah buku dengan namaku disampulnya. Membawa tawa dan tangis pada pembaca.
Mencintai seseorang dengan penuh. Dicintai dengan utuh.
Mengajari anak-anak membaca. Mengajak mereka memandang awan, tak jarang juga bintang.
Menggandeng tanganmu di depan mereka, bersamamu keliling dunia.

Aku ingin bahagia. Tanpa takut, tanpa cemas.
membaca tanpa batas. belajar di kampus tanpa peduli usia.
Aku ingin bahagia. Tanpa peduli mereka siapa.
mengungkap sedih, meluap marah. berbicara cinta, melepaskan rindu.
Aku ingin bahagia. Tapi tidak sendiri.
aku takut pada sendiri, tapi tidak pada sunyi.

Aku ingin bahagia. Hanya itu.
August 24, 2018 No comments
(Source: Wikipedia)

Hugh Jackman kembali bernyanyi! Wohooo!!! Saya bersorak riang ketika melihat poster film ini akhirnya rilis di jaringan bioskop di Indonesia. Begitu saya lihat penata musik dan lyricist saya bersorak riang lagi, mereka orang-orang dibalik musik di film La La Land. Bukankah akan memberikan pengalaman menonton yang asyik, pikir saya.

Film ini menceritakan tentang kehidupan P.T Barnum, seorang pemimpin sirkus yang pada akhirnya menjadi pengusaha hiburan yang terkemuka di masanya. Belakangan saya baru tahu bahwa P.T Barnum adalah sosok di balik Barnum & Bailey Circus (Ringling Bros and Barnum & Bailey Circus, sejak 1919 hingga 2017), sebuah perusahaan sirkus terkemuka dunia. 
Barnum yang diperankan oleh Hugh Jackman memulai karirnya di bidang hiburan dengan membeli sebuah museum yang hampir bangkrut lalu mengubahnya menjadi panggung pertunjukan yang menampilkan orang-orang aneh. Pada masa itu, orang kerdil, kulit hitam, atau pengidap gigantisme menjadi tontonan menarik bagi masyarakat karena dianggap aneh. Tentu saja di film ini orang-orang itu ditunjukkan sebagai kelompok yang termarginalkan. Melalui musikal yang menghentak dan lirik membangun, Barnum mampu mengubah pemikiran tentang self-value mereka lalu menjadikan mereka bagian dari sirkus sebagai bentuk menunjukkan jati diri. Bahkan Barnum juga berhasil membujuk Philip Carlyle (Zac Efron), untuk berinvestasi di bisnis hiburannya tersebut. 
Tidak puas dengan pertunjukan yang dibangunnya, Barnum membujuk seorang diva dari Eropa untuk meluaskan karirnya di Amerika. Barnum pun mendapatkan pasar dan simpati dari kalangan atas. Hal ini memunculkan konflik pada Barnum, Kelompok Sirkus, dan keluarganya.

Sebenarnya tidak ada konflik pelik yang ditunjukkan dalam film ini, bahkan klimaksnya pun tidak menunjukkan kekrisisan yang bisa membuat penontong ingin memaki atau menonjok tokoh utamanya. Saya selalu suka ketika Hugh Jackman bernyanyi atau menunjukkan sisi romantisme lelaki. Zac Efron yang kembali bernyanyi pun membawa saya bernostalgia ke High School Musical. Karena itu, film ini bikin saya bahagia. Sejak awal film disajikan visual yang memanjakan mata, musik yang memanjakan telinga, dan suasana hangat yang disajikan membuat saya tersenyum sepanjang film. 
Tetapi jika ingin mengkritisi, ada beberapa hal krusial yang diselipkan sebagai pesan dalam film ini. Pertama, film ini mengangkat pesan tentang 'mimpi dan menjadi diri sendiri'. Tentu saja akan menjadi penyemangat bagi orang-orang yang memiliki kepercayaan diri rendah untuk menggapai mimpi. Ya, live like Barnum, believing in your self, and believing in your dream, that's how you supposed to be. Kedua, film ini secara tidak langsung menunjukkan sisi gelap hiburan sirkus di masa itu. Jika kalian pernah membaca buku atau artikel, pada masa tersebut orang-orang yang memiliki cacat fisik, ras yang berbeda, atau cara hidup berbeda menjadi bagian marginal. Bahkan tak jarang menjadi budak  atau komoditas untuk dipertontonkan. Ketiga, Zac Efron dan Zendaya yang terlibat hubungan romantis di film ini mengalami hal yang pada saat itu dialami oleh semua orang yang memiliki hubungan cinta beda ras. Orang kulit hitam adalah budak dan lebih rendah statusnya, orangtua Philip Carlyle pun menganggap Anne Wheeler adalah aib bagi putranya. Keempat, ternyata Ringling Brother and Barnum & Bailey Circus dituntut atas eksploitasi hewan-hewan untuk keperluan pertunjukan pada tahun 2000, hingga berujung pada skandal serupa pada tahun 2011 hingga 2015. Sirkus ini menutup seluruh kegiatannya, tepat 7 bulan sebelum film ini rilis.

Overall, film ini bikin saya bahagia. Tak henti-hentinya ikut bernyanyi atau mengikuti irama musik yang kaya dan megah. Pembuka tahun yang luar biasa, The Greatest Showman.
January 14, 2018 No comments
Judul : The Dog Who Dared to Dream
Penulis : Hwang Sun Mi
Penerbit : Little Brown, UK



"Pada suatu masa di sebuah tempat yang selalu dipenuhi salju saat musim dingin, hiduplah seekor anjing kecil yang punya mimpi-mimpi sederhana"

Awalnya saya kira buku ini akan diawali dengan kalimat tersebut. Tetapi teriakan dan keluhan seorang lelaki tua justru menjadi bagian dari bab pembukanya. Kemudian mengalirlah cerita tentang lelaki tua itu dan Scraggly, peliharaannya.

Scraggly, seekor anjing kecil yang lahir berbeda dari saudara-saudaranya. Berbulu gelap, nyaris hitam, berbadan kecil yang termasuk ringkih. Belakangan saya tahu, bulunya berpendar biru apabila terkena pancaran sinar rembulan. Menjadikannya istimewa.

Scraggly hidup bersama keluarga Kakek Screecher, di sebuah desa di daerah pegunungan Korea yang diselimuti salju pada musim dingin. Musim dingin berbuat sesuatu pada mereka, membuat Scraggly memiliki mimpi-mimpi sederhana yang menurut Kucing Tua tidak patut dimiliki seekor anjing.

Musim dingin pertama Scraggly merenggut nyawa adik bungsunya karena ulah si Kucing Tua. Scraggly memahami rantai yang menahan leher ibunya, membuatnya kehilangan si bungsu karena terlambat diselamatkan. Kemudian musim dingin juga merenggut ibu dan saudaranya yang lain karena ulah pencuri yang memasuki rumah Kakek Screecher. Scraggly belajar bahwa makanan yang diberikan orang asing, harus diwaspadai, lalu dia juga menyesal tidak mampu menggigit dengan kuat si pencuri untuk menyelamatkan saudara-saudara dan ibunya.

Memasuki berikutnya, Scraggly hampir mati karena anjing liar di lingkungan mereka. Namun musim dingin itu pula Scraggly bertemu si Putih, hingga akhirnya dia melahirkan anak-anaknya sendiri. Scraggly pun memiliki mimpi sederhana, ia ingin hidup bersama anak-anaknya. Tetapi ternyata musim dingin selanjutnya dia harus dipisahkan dari anaknya, Scraggly tidak punya pilihan. Tregedi demi tragedi terjadi, di musim dingin. Scraggly menumbuhkan mimpinya, tetapi juga tak bisa berbuat apa-apa ketika mimpinya hancur.

Saya tidak terlalu paham mengapa penulisnya memilih musim dingin sebagai momentum penting dalam kehidupan Scraggly. Apakah musim dingin yang menggigit dimaksudkan untuk menambah suasana sedih dan terluka yang dialami oleh Scraggly, atau musim dingin yang putih memang cocok untuk menggambarkan kontras warna antara Scraggly dan salju? Tetapi yang jelas musim dingin yang digunakan untuk latar cerita mampu membuat saya setiap tragedi yang dialami Scraggly dengan nyata, juga merasakan kehangatan ketika Scraggly mendapatkan sup atau makanan hangat untuk perutnya termasuk perasaan hangat ketika si Kucing Tua ternyata menjadi sahabat terbaik Scraggly meskipun selalu bermulut pedas.

Penulisnya pun menggunakan kata ganti 'Who' untuk Scraggly pada judulnya. Menunjukkan bahwa Scraggly bukan hanya sebuah benda, tetapi 'memanusiakan' Scraggly. Sehingga mimpi-mimpi dan perasaan yang dimiliki Scraggly terasa sangat wajar. Hal ini membuat pembaca menjadi gampang tersentuh pada setiap peristiwa yang dialami oleh Scraggly. Tentu saja ini bisa jadi pendukung untuk gerakan animal welfare. Bahwa hewan adalah makhluk hidup yang juga layak mendapatkan kesejahteraan, terhindar dari kekerasan, dan tidak boleh diperlakukan sebagai sebuah obyek. Meskipun penggambaran hubungan Kakek Schreecher dan Scraggly masih berubah-ubah. Kakek Screecher menganggap Scraggly sebagai obyek dan subyek pada saat bersamaan. Bukan hal buruk, justru hal ini sangat wajar karena manusia pun saat ini tidak ada yang benar-benar menganggap hewan sebagai subyek yang memiliki kebutuhan 'setara' dengan manusia.

Tidak ada plot klimaks menurut saya, penulisnya menceritakan kehidupan Scraggly secara wajar. Kakek Screecher bertambah usia, Scraggly pun bertambah usia. Kakek Screecher tak bisa lagi memberikan perhatian utuh, Scraggly pun terabaikan secara wajar. Kakek Screecher kehilangan masa-masa indah hidupnya, Scraggly pun kehilangan semua yang pernah dimilikinya. Wajar. Tanpa dramatisir.

Buku ini salah satu yang membuat saya menghela napas panjang setelah selesai membacanya. Alur cerita yang sederhana dan sangat wajar justru membuat saya memikirkan banyak hal yang pernah terjadi dalam hidup. Salah satu buku yang menggelitik saya, menyadarkan bahwa hal sederhana bisa menjadi istimewa apabila diceritakan dengan baik. Buku ini juga meyakinkan saya bahwa saya bersyukur telah mengadopsi hewan, meskipun hanya satu ekor. Menyediakan rumah dan makanan yang cukup bagi hewan ini, membuat hati saya penuh. Semoga Scraggly-Scraggly di luar sana bisa merasakah kehangatan hati yang sama seperti kucing saya di rumah.
December 17, 2017 No comments
Keluarga terdiri dari rasa percaya. Percaya bahwa bisa berjalan bersama. Percaya bahwa bisa melewati semua tantangan.


Ketika ayah memutuskan menikah lagi setelah ibu tiada, saya memang mengiyakan dan merestui. Tetapi ada ragu yang masih terselip ditengah doa yang sedang saya rapal. Ada pertanyaan-pertanyaan penuh kekhawatiran. Apakah si calon istri adalah orang baik? Apakah sanggup menjadi sosok ibu? Apakah bisa mendampingi adik saya untuk tumbuh? Dan banyak pertanyaan lainnya.
Let's see, itulah kalimat yang saya ucapkan untuk diri sendiri supaya pertanyaan-pertanyaan itu teredam. Ya, saya hanya perlu melihat bagaimana peran itu dijalankan. Satu hal yang saya pegang, saya percaya pada ayah. Sudah itu saja.
Empat tahun pernikahan mereka, tentu saja ada masalah yang menghadang. Saya tak ambil pusing, karena keluarga kami demokratis. Masalah yang ada bisa terselesaikan. Adik saya yang beranjak dewasa pun lebih banyak tak ambil pusing juga, dia masih bergantung pada kakak perempuannya dan ayahnya. Saya tahu adik saya belum sepenuhnya percaya pada sosok baru dalam keluarga kami.
Menurut saya, beliau perempuan yang sangat baik, kuat, dan cantik. Baik karena mampu menerima kami sebagai anaknya juga (dia memiliki tiga anak lelaki dari pernikahan sebelumnya). Kuat karena dia pernah mengalami kehilangan yang hebat sehingga belajar berdamai dengan kehilangan itu. Cantik, setiap perempuan cantik dengan caranya sendiri, begitu pula perempuan yang kini saya panggil Mama itu.
Kami masih dalam proses membina saling percaya, dalam arti kami mencoba untuk percaya bahwa tidak akan menyakiti satu sama lain. Proses itu panjang, seumur hidup. Tapi saya tahu kami sudah dalam tahap untuk percaya.
Terima kasih, Mama. Sudah bersedia mendampingi ayah, karena itu yang paling penting bagi kami saat ini.

November 01, 2017 No comments
Older Posts

About me




a wanderer, in a past time and to the future
a reader, who suddenly stop to laughing or crying
once an editor, who loves to read so much


Blog Archive

  • ▼  2018 (4)
    • ▼  September (2)
      • Aruna dan Lidahnya: Film yang Bikin Laper tapi Ngg...
      • Berhenti Menjadi 'Normal'
    • ►  August (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2017 (8)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  September (2)
    • ►  August (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (1)
    • ►  March (1)
  • ►  2016 (8)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  September (1)
    • ►  July (2)
    • ►  March (1)
  • ►  2015 (3)
    • ►  November (2)
    • ►  June (1)
  • ►  2014 (20)
    • ►  October (1)
    • ►  September (2)
    • ►  August (3)
    • ►  June (1)
    • ►  May (2)
    • ►  April (4)
    • ►  March (3)
    • ►  February (3)
    • ►  January (1)
  • ►  2013 (29)
    • ►  December (4)
    • ►  November (4)
    • ►  October (1)
    • ►  September (2)
    • ►  July (1)
    • ►  June (3)
    • ►  May (3)
    • ►  March (6)
    • ►  February (1)
    • ►  January (4)
  • ►  2012 (41)
    • ►  December (4)
    • ►  October (3)
    • ►  September (4)
    • ►  August (3)
    • ►  July (4)
    • ►  May (6)
    • ►  March (6)
    • ►  February (3)
    • ►  January (8)
  • ►  2011 (42)
    • ►  December (13)
    • ►  November (5)
    • ►  September (1)
    • ►  July (1)
    • ►  June (2)
    • ►  May (3)
    • ►  April (2)
    • ►  March (4)
    • ►  February (3)
    • ►  January (8)
  • ►  2010 (12)
    • ►  December (1)
    • ►  November (1)
    • ►  October (3)
    • ►  August (1)
    • ►  April (4)
    • ►  January (2)
  • ►  2009 (10)
    • ►  July (1)
    • ►  May (9)
  • ►  2008 (4)
    • ►  September (1)
    • ►  July (3)

Pageviews

Cuap-Cuap

Tweets by SevyKusdianita

Created with by ThemeXpose