Aruna dan Lidahnya: Film yang Bikin Laper tapi Ngga Baper

by - September 30, 2018



Sudah beberapa saat sejak trailer pertama Aruna dan Lidahnya hilir mudik di beberapa chanel You Tube atau beberapa media sosial lainnya. Hal yang paling saya ingat tentang film ini adalah sebuah buku dengan sampul gambar mangkuk ayam jago yang selalu jadi khas penjual mie ayam atau bakso. Tapi tidak, tentu saya tidak akan membicarakan bukunya atau mie ayamnya. Saya akan menceritakan pengalaman saya menonton film ini.

Film ini bercerita tentang Aruna yang sedang menyelam sambil minum air. Jangan dibayangkan dia menyelam beneran loh ya. Maksudnya, Aruna yang sedang ditugaskan untuk investigasi 'wabah' flu burung juga menyempatkan diri untuk kulineran bersama teman-temannya, Bono (seorang chef) dan Nandesta (penulis). Muncul juga Farish, patner Aruna dalam tugas sekaligus lelaki yang ditaksirnya. Investigasi flu burung dan wisata kuliner tentu saja hal yang berbeda jauh. Aruna menjalankan keduanya. Menemukan masalah, tentang rasa dan tentang manusia.

Makanan, adalah hal pertama yang menarik perhatian saya ketika trailer film ini muncul. Saya penasaran bagaimana makanan diwujudkan dalam bentuk visual oleh sutradaranya, terlebih jika pemeran utamanya Mbak Dian Sastro dan Mas Nicholas Saputra. Tentu saja juga tentang rasa penasaran saya sebagai salah satu penonton AADC. Saya penasaran bagaimana dua mas dan mbak ini ada dalam satu frame tanpa cap Rangga dan Cinta. 

Pertama, makanan. Saya menikmati setiap sajian visual makanan yang ditampilkan dalam film. Bagaimana proses memasak sop buntut menggoda. Atau ketika seorang bapak mendeskripsikan soto lamongan yang menjadi masakan andalan almarhum istrinya. Soto lamongan yang banyak tersebar di seluruh Indonesia itu, yang menurut saya biasa saja, entah mengapa bisa membuat saya menelan ludah. Visual yang ditampilkan dalam film ini serasa membuat makanan-makanan itu siap menyembul dari balik layar dan siap untuk disantap.

Kedua, tidak ada lagi Cinta dan Rangga!! Saya senang. Udah itu aja.

Namun sayangnya saya tidak paham mana yang lebih diprioritaskan untuk disampaikan dalam film ini. Tentang kuliner kah? Atau tentang nilai-nilai yang ditemukan Aruna dalam menjalankan tugasnya? Keduanya kabur menurut saya. Jika kuliner yang hendak disampaikan, maka visual saja tidak cukup untuk menyampaikannya. Perlu informasi yang lebih jelas apabila ingin menonjolkan makanan Indonesia yang beragam itu. Begitu pula tentang nilai-nilai yang ditemukan Aruna, proses berpikir mendalam yang dialami Aruna sehingga bisa menemukan nilai-nilai itu pun tidak ditampilkan secara jelas. Penonton perlu melihat lebih teliti keseluruhan film apabila ingin menemukan proses berpikir mendalam tersebut, karena saya rasa sang Sutradara pun sudah menyisipkan di dalamnya. 

Tapi film ini membuat saya senang dengan celetukan recehnya yang menyentil. Tentang pencarian resep nasi goreng Mbok Sawal, yang menyampaikan bahwa pencarian yang jauh itu kadang tidak perlu dilakukan kalau kita bisa melihat lebih dekat dan memahami lebih baik. Juga tentang musik yang memanjakan telinga, dan warna-warna yang dipilih untuk menghidupkan sinemanya. Penyampaian narasi yang cenderung atraktif dengan penonton pun juga cukup segar, sehingga sebagai penonton saya pun merasa menjadi bagian dari adegan-adegan yang dijalani Aruna.

Apa saya senang setelah menonton film ini? Iya, saya senang. Cukup.

You May Also Like

0 comments